Opini  

Uang Banyak Tidak Bisa Mendustai Hasil

 

almadi

Oleh: Almadi

(Wartawan Utama)

 

Semen Padang FC dihajar tamunya Bali United (0-2)  di stadion H. Agus Salim Padang, kalah dihadapan pendukung entah yang keberapa kali. Sebab, sudah malas berhitung. Bagi Bali, kemenangan tersebut  menghantarkannya sebagai kampiun Liga satu 2019.

Pasukan Bali United berpesta di stadion Agus Salim, Padang. Mereka bersorak gembira tanda juara liga. Sebalikya, suporter SPFC hanya menyaksikan pesta tim tamu di kandang sendiri. Entah yang keberapa kali kejadian seperti ini. Suka duka memang datang silih berganti. Tapi bagi pendukung SPFC lebih banyak dukanya.

Sorotan kamera tak henti-hentinya menerpa pemain Bali United, ditempat lain pelatihnya Stefano Cugurra alias Teco dengan suara terbata-bata menjawab pertanyaan wartawan. Dia sempat menyindir, ini berkat kebersamaan dan gaji yang tidak pernah terlambat. Katanya, sembari memuji manajemen tim Bali United.

Lalu bagaimana mana peluang Semen Padang FC mampukah bertahan atau kembali ke TV One sebagai pemegang hak siar liga dua. Dari analisa pakar bola, butuh keajaiban agar klub kebangaan urang awak ini bisa bertahan di Indosiar. Sebab, SPFC harus mampu memenangkan sisa pertandingan lagi.

Kalau soal hitung-hitung jumlah poin 28, SPFC pada posisi buncit, banyak yang sudah tahu dan pintar menganaliasa. Jadi percuma saja dihitung. Apakah pesimis? Tak ada kata pesimis dalam sepakbola, sekecil apa pun peluang pasti dimanfaatkan demi kemenangan. Saya yakin pecinta SPFC tak ingin kembali ke TV One. Namun apakah bisa menolak takdir.

Muncul pertanyaan, kenapa Bali United bisa kampiun liga satu 2019?. Semuanya, tak lain pengaruh finansial. Persib Bandung dan Persija serta beberapa klub lainnya tak kalah juga finansial dengan Bali United tapi gagal bersaing. Itulah, sepakbola selain finansial juga tak luput faktor lain ikut menentukan. Apalagi klub kere saat bertandang pusing beli tiket.

Olahraga profesional, money adalah segalanya. Jangan harap tanpa uang muncul prestasi. Artinya, uang banyak tak akan mendustai hasil. Ini sudah dibuktikan beberapa klub besar Eropa. Tanpa uang jangan harap akan datang pemain berkelas. Kondisi tersebut dialami SPFC menjelang start liga satu. Manajemen sempat pusing minimnya sponsor. Bahkan Semen Indonesia yang diharapkan sebagai sponsor utama pura-pura tak tahu.

Meski dana cekak, klub kebangaan urang awak tetap melakoni kompetisi dengan membeli pemain asing. Namun, pembelian itu salah kaprah. Pemain berlebel aseng tersebut bagaikan membeli kucing dalam karung. Buntutnya, SPFC diganjar skorsing oleh FIFA sampai 2021 tidak boleh melakukan transfer pemain. Sedangkan pemain yang ingin keluar silahkan. Ini dampak, proses transfer pemain asal Estonia, Tristan Koskor. Jika SPFC membayar RP 320 juta otomatis skor dicabut.

Dalam kondisi pahit, kembali manajemen mengeluarkan merogoh koceknya ratusan juta. Padahal, uang sebanyak itu bisa digunakan untuk keperluan lain. Tapi bagaimana lagi, hukuman FIFA tak bisa ditolak. Jika berandai-andai, SPFC kembali ke kasta kedua apakah mungkin sponsor utama Semen Indonesia ikhlas menggelontorkan money puluhan miliar rupiah?

Do’kan sajalah agar Semen Indonesia banyak rezekinya dan mau jadi sponsor utama. Kalau tidak, ya.. selamat tinggal stadion Agus Salim. (***)

 

 

Tinggalkan Balasan