Opini  

Kemeja KONI Sumbar

Oleh: Almadi

Kemeja KONI Sumbar rupanya punya daya tarik juga. Padahal biasa-biasa saja, tak ada kesan mewah. Kemeja warna abu-abu pemberian almarhum Syaiful mantan Ketua KONI Sumbar dasarnya lembut. Enak dipakai. Kebetulan saya dapat empat, padahal bukan orang dalam.

Kemeja itu selalu saya kenakan bergantian, tidak tentu harinya. Kadang Senin, kadang Kamis, kadangkala absen. Ibarat puasa Senin Kamis. Selain itu, saya dapat pula kemeja Pemuda Demokrat Sumbar juga pemberian almarhum. Entah kenapa kemeja KONI selalu di hati.

Di eranya Prof. DR. Syahrial Bakhtiar jadi ketua KONI Sumbar, ada juga dapat satu stel kemeja Safari warna coklat. Tak ada logonya, sekarang tak terpakai karena sempit, maklum perut buncit.

Selain itu, Syahrial Bhaktiar juga menghadiahkan saya kemeja KONI Sumbar. Sering juga saya pakai di hari-hari besar nasional. Kalau nama penjahitnya Dunia Baru Tailor, sedangkan waktu Syaiful dijahit oleh Syafri Tailor lokasinya jalan Veteran, Padang.

Ketua KONI Sumbar dipimpin Rony Pahlawan, dapat juga saya satu kemeja KONI, warnanya agak crem, dibelahan kiri-kanan warna merah panjang ke bawah, saku depan ada tiga warna hitam kuning dan merah lambang Marawa. Sedangkan di punggung tertulis dengan huruf kapital “SUMATERA BARAT”.

Meski terlambat informasi adanya pengukuran kemeja, tapi saat mengambil  saya tepat waktu. Kata kepala Sekretariat KONI Sumbar, Furqan, baju kemeja ini dipakai tiap hari Senin. Kayak pegawai ANS saja.

Karena kemeja logo KONI Sumbar itulah saya jadi perhatian orang. Satu hari, ditepi jalan daerah Pasar Gadang, dekat rumah makan Gole. Dikenal sebagai kota Padang lama. Tiba-tiba turun seseorang dari motor.  Mendadak saja dia menghampiri saya, sembari bertanya apakah saya pengurus KONI.

Pertanyaan itu tak saya jawab, tapi dia nyerocos saja. Lalu dia ambil Hp kameranya minta foto berdua. Kemudian saya acungkan tinju begitu dia lakukan foto selfi. Dia tertawa puas.

Bahtin saya berkata, bagaimana kalau jadi artis mungkin lebih dari ini. Kemudian dia perkenalkan diri. Namanya Steven Muhammad baru setahun jadi mualaf. “Saya baru setahun ini mualaf, sebelumnya agama Kristen,” ujarnya tanpa ditanya.

Lalu dia bertanya, apakah kenal dengan mantan petinju Padang orangnya tinggi besar. Kalau yang tipikal macam itu cuma Togi Paruhun Tobing, pikir saya dalam hati. Setelah dia berulangkali menyebut ciri-ciri petinju itu, saya mengangguk saja.

Kemudian dia kembali nyerocos dan memuji kemeja KONI saya pakai. Steven tak segan-segan memuji kemeja dengan adanya logo KONI Sumbar yang melekat di badan saya.” Apakah dulu pernah jadi atlet,” tanya saya singkat.

“ Dulu saya pernah jadi atlet voli,” jawab Steven Muhammad terdengar intonasi suaranya seperti logat Nias.

Jawabanya itu sontak saya kaget, masa iya atlet voli ukurannya semeter kotor. Dari postur tubuhnya tidak ideal sebagai atlet voli. Diam-diam saya pandangi dari ujung kaki sampai rambut. Matanya yang kecil dan kulit putih mirip orang seberang sana.

Apakah tak pernah pulang kampung ke Gunung Sitoli,” tanya saya penuh selidik.

‘Saya bukan orang Nias bang, saya asli Tionghoa,” ujarnya menjelaskan asal usulnya.

Dia menceritakan perasaanya setelah masuk Islam. Kemudian dia mengambil dalam jok motornya buku ukuran kecil cara berzikir.” Saya tidak ada yang mengajari cara berzikir dan bershalawat,” katanya.

Dalam pertemuan tersebut di benak saya teringat Gubernur Sumbar Mahyeldi, kalau dia tahu ada yang mualaf bisa juga dikasih jabatan ketua KONI. (***).