Polemik imbauan pakai jilbab bagi siswi di SMKN 2 Padang makin memanas dan seoalah sebuah masalah yang besar, walaupun sebenarnya imbauan yang tertuang dalam Perda Kota Padang dan Pemprov Sumbar itu telah dijalankan dengan baik selama lima belas tahun silam. Hanya saja, kini terkesan di goreng untuk panggung politik tertentu.
Persoalan yang seharusnya bisa diselesaikan di sekolah itu, kini dikomentari langsung oleh menteri Pendidikan dan Kebudayaan seolah persoalan tersebut lebih penting dari banyaknya siswa yang tertinggal dalam belajar karena dampak pemberlakuian pembelajaran daring beberapa waktu lalu, sebagai dampak antisipasi penularan covid-19.
Menteri yang tampak diam ketika orang tua siswa di berbegai pelosok negeri mengeluhkan pembelajaran daring karena ketidak tersediaan perangkat bagi mereka di pedalaman dan uang tambahan yang harus disediakan untuk membeli paket internet, kini terkesan garang dan bersuara lantang hanya mengurusi perda jilbab yang notabene kearifan lokal yang sudah diterapkan puluhan tahun silam.
“Lalu apa yang salah dengan di Padang atau Sumbar menjalankan Perda yang mengakomodir adat budaya setempat?” tanya Emil Guci.
Senada dengan Emil Guci, Daniel Sijabat, yang mengaku sebagai pemeluk agama Kristen Khatolik yang taat, mengatakan, kalau dalam agamanya memang sangat dianjurkan bagi perempuan untuk memakai penutup kepala atau hijab.
“Menurut Rabbi Dr. Menachem M. Brayer, Professor Literatur Injil pada Universitas Yeshiva dalam bukunya, The Jewish woman in Rabbinic Literature, menulis bahwa baju bagi wanita Yahudi saat bepergian keluar rumah yaitu mengenakan penutup kepala yang terkadang bahkan harus menutup hampir seluruh muka dan hanya meninggalkan sebelah mata saja,” ujar Daniel.
Lebih lanjut dia mengatakan, Hukum Rabbi melarang pemberian berkat dan doa kepada wanita menikah yang tidak menutup kepalanya karena rambut yang tidak tertutup dianggap “telanjang”. Dr. Brayer juga mengatakan bahwa “Selama masa Tannaitic, wanita Yahudi yang tidak menggunakan penutup kepala dianggap penghinaan terhadap kesopanannya. Jika kepalanya tidak tertutup dia bisa dikenai denda sebanyak empat ratus zuzim untuk pelanggaran tersebut.”
“Bagaimanakah jilbab menurut tradisi Kristen? Kita sendiri menyaksikan sampai hari ini bahwa para Biarawati Katolik menutup kepalanya yang suruhannya sebetulnya telah ada semenjak empat ratus tahun yang lalu,” kata Daniel serius.
Tetapi bukan hanya itu, lanjut dia, St. Paul (atau Paulus) dalam Perjanjian Baru, I Korintus 11:3-10, membuat pernyataan-pernyataan yang menarik tentang jilbab sebagai berikut: “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap laki-laki adalah Kristus, kepala dari perempuan adalah laki-laki dan kepala Kristus adalah Allah. Tiap laki-laki yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang bertudung, menghina kepalanya. Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya.
Sementara itu, inisiator Perda Jilbab yang juga pernah menjabat sebagai walikota Padang dua periode, Fauzi Bahar, mengatakan, aturan yang mewajibkan siswi di sekolah negeri berpakaian muslimah bukan hal baru.
“Aturan tersebut dibuat justru untuk melindungi kaum perempuan. Itu sudah lama sekali, kok baru sekarang diributkan? Kebijakan 15 tahun yang lalu itu, ”kata Fauzi Bahar, seperti dikutip dari Detikcom, Sabtu (23/1/2021).
Menurut Fauzi, aturan itu semula hanya berupa imbauan. Namun kemudian menjadi berubah menjadi Wali Kota Padang. Saat itu SMA / sederajat merupakan bagian dari perangkat daerah pemerintah kota / kabupaten.
Aturan berbusana ini diatur dalam Instruksi Walikota Padang No 451.442 / BINSOS-iii / 2005. Instruksi itu dikeluarkan pada 2005.
“Aturan itu saya yang buat. Sudah ada sejak zaman saya jadi wali kota, bukan sekarang saja, ”katanya.
Fauzi mengatakan, selain menjaga perempuan, kebijakan itu dapat mengembalikan budaya Minang.
Jauh sebelum republik ini ada, gadis Minang dulunya sudah berbaju kurung. Kita mengembalikan adat Minang berbaju kurung. Pasangan baju kurung adalah selendang. Agar tak diterbangkan angin, ada kain yang dililitkan ke leher, yang namanya jilbab, ”katanya.
“Apa yang kita lakukan dulu dapat respons yang luar biasa. Buktinya, ini bukan hanya di Kota Padang saja, tapi juga menjalar ke seluruh Sumatera Barat, Sumatera, dan Indonesia. Kalau ada protes satu atau 10 orang, kan hal biasa. Tujuan utama kita adalah melindungi perempuan, terutama kaum minoritas di tempat-tempat yang paling penting, ”katanya lagi.
Ia menetapkan peraturan di sekolah itu sudah sangat bagus dan tidak perlu dicabut. “Itu sudah kebijakan dan aturan sekolah. Kalau tidak suka dengan aturan sekolah, ya, tinggal cari sekolah lain saja,” kata Fauzi.
“Toh itu semangatnya bukan paksaan buat nonmuslim. Kita melindungi menciptakan kita sendiri, ” tambahnya.
Disisi lain, sejumlah siswi nonmuslim pernah menceritakan mereka memilih menggunakan jilbab meski sebenarnya tak pernah ada paksaan agar mereka berkerudung ke sekolah.
Salah satu siswi, Elisabeth Angelia Zega, bercerita bahwa dia telah memakai kerudung untuk pergi ke sekolah sejak duduk di bangku SMP. Dia mengaku pihak sekolah tak pernah memaksanya yang nonmuslim untuk berjilbab.
“Tidak ada unsur paksaan. Dan saya juga sudah dari SMP memakai jilbab ini,” kata Elisabeth Angelia Zega di SMKN 2 Padang, Senin (25/1/2021).
Dia mengaku tak keberatan dan merasa tidak dirugikan dengan mengenakan pakaian yang membuat dirinya seperti siswi beragama Islam. Menurutnya, masalah keimanannya tak terganggu gara-gara menggunakan pakaian seperti siswi beragama Islam.
“Walau di sekolah pakaian saya seperti ini (pakai jilbab) iman saya tetap percaya Tuhan Yesus. Tak ada tekanan batin kalau pakaian pakai jilbab,” kata Angel.
Siswi lainnya, Yulita Harefa, juga menyebut tak masalah menggunakan jilbab meski bukan pemeluk agama Islam. Dia mengaku sudah sejak SMP menggunakan jilbab saat sekolah.
“Sudah sejak SMP saya memakai jilbab ke sekolah, saya tidak pernah minder,” ujar Yulita.
Siswi yang duduk di Kelas XII SMKN 2 Padang itu mengaku sempat merasa canggung saat awal-awal menggunakan jilbab di bangku SMP. Dia mengaku belajar memakai jilbab dari kakaknya yang juga menggunakan jilbab saat ke sekolah.
“Saya belajar memasang jilbab dari kakak, kebetulan kakak juga belajar di sekolah negeri dan memakai jilbab,” jelas dia.
“Pakaian seperti ini (pakai jilbab) hanya atribut saja kok. Identitas saya sebagai pelajar SMK 2. Tidak kaitan dengan masalah iman,” katanya.
Eka mengaku sudah menggunakan jilbab sejak duduk di kelas IV SD. Dia mengaku bisa saja ke sekolah tanpa memakai jilbab karena tak ada kewajiban bagi siswi nonmuslim untuk menggunakan jilbab ke sekolah.
Sebagai informasi, para siswi tersebut datang ke sekolah karena SMKN 2 Padang sudah mulai menerapkan belajar tatap muka di tengah pandemi. Jumlah murid yang hadir ke sekolah dibatasi dan diwajibkan mematuhi protokol kesehatan ketat selama di sekolah.
Sebelumnya, video adu argumen orang tua siswa dengan Wakil Kepala SMK Negeri 2 Padang viral di media sosial. Orang tua dan pihak sekolah terlibat adu argumen soal kewajiban siswi, termasuk yang nonmuslim, menggunakan jilbab di sekolah.
Menyikapi video tersebut, Menteri Nadiem Makarim terkesan menyikapi secara berlebihan,
Mendikbud Nadiem meminta masalah ini segera diselesaikan. Dia memerintahkan agar pihak yang terlibat dengan aturan intoleran tersebut diberi sanksi.
“Saya meminta pemerintah daerah sesuai dengan mekanisme yang berlaku, segera memberikan sanksi yang tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat, termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan, agar permasalahan ini menjadi pembelajaran kita bersama ke depannya,” ucap Nadiem. (*/edY)