Indeks

Banjir dan Longsor, Walhi Bongkar Rekam Jejak Kebijakan Mahyeldi

PADANG-Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat melontarkan kritik keras kepada Gubernur Sumbar, Mahyeldi Ansharullah, banjir dan longsor tak lepas dari rekam jejak kebijakan orang nomor satu di ranah Minang.

Terkait pernyataannya soal penyebab banjir dan longsor yang berulang di Ranah Minang. Walhi menilai Mahyeldi tengah berupaya melempar tanggung jawab dan “mencuci tangan” dari krisis ekologis yang kian parah.

Kritik tersebut disampaikan Walhi menyusul pernyataan Mahyeldi dalam sebuah dialog televisi nasional yang menyinggung pemberian izin hak atas tanah oleh Kementerian Kehutanan sebagai penyebab bencana. Bagi Walhi, pernyataan itu justru mencerminkan sikap menghindar dari tanggung jawab sebagai kepala daerah.

“Dalam catatan Walhi, Gubernur Sumbar bersama Menteri Kehutanan adalah aktor utama yang bertanggung jawab atas bencana ekologis di Sumatera Barat. Jangan berebut cuci tangan di tengah gagalnya pemerintah daerah dan pusat. Pranata kehidupan masyarakat kini hancur akibat bencana ekologis,” tegas Direktur Eksekutif Walhi Sumbar, Wengki Purwanto, dalam keterangan tertulis, Minggu (14/12/2025).

Wengki mengingatkan, rekam jejak kebijakan Mahyeldi selama menjabat justru memperlihatkan lemahnya perlindungan hutan dan daerah aliran sungai (DAS) di Sumatera Barat.

“Bukankah Gubernur Sumatera Barat memberikan rekomendasi agar hutan-hutan di Sumbar, kayunya dibabat atas nama investasi? Jangan sembunyi. Bukankah pemerintah provinsi juga gagal menjaga hutan yang menjadi kewenangannya, hingga hutan dan DAS hancur akibat tambang ilegal? Bukankah izin tambang juga diberikan di kawasan rawan bencana? Ayo berani dan tunjukkan tanggung jawab,” ujar Wengki.

Walhi mencatat, pada Februari 2021, Mahyeldi merekomendasikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pemanfaatan kawasan hutan seluas ±43.591 hektare di Kabupaten Solok Selatan untuk usaha hasil hutan kayu hutan alam. Ironisnya, di dalam kawasan tersebut terdapat enam izin perhutanan sosial yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat adat.

Tak hanya itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat juga pernah merekomendasikan pemanfaatan hutan di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai, seluas ±25.325,34 hektare kepada PT Sumber Permata Sipora, perusahaan yang bergerak di sektor hasil hutan kayu hutan alam.

Dalam rentang 1990 sampai 2014, Walhi mencatat sedikitnya ±158.831,4 hektare hutan di Sumatera Barat telah dilepas untuk 29 perusahaan besar perkebunan. Hutan-hutan tersebut kini berubah menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit.

“Belakangan terbukti, sebagian perusahaan itu mengubah hutan menjadi kebun sawit secara melawan hukum. Pemerintah daerah terlibat dalam prosesnya. Jangan mengelak. Hak-hak masyarakat tidak direalisasikan, konflik berkepanjangan terjadi, dan kini krisis ekologis menumpuk menjadi bencana sosial-ekologis yang terus berulang,” ungkap Wengki.

Hingga 2020, Walhi juga mencatat hutan Sumbar seluas ±183.705 hektare telah dibebani izin eksploitasi hasil hutan kayu alam, sementara 65.432,90 hektare lainnya dialokasikan untuk hutan tanaman industri. Selain itu, 1.456,54 hektare hutan juga diberikan untuk aktivitas pertambangan.

Kerusakan akibat tambang emas ilegal pun kian mengkhawatirkan. Di empat kabupaten saja, kerusakan hutan, lahan, dan DAS telah mencapai 7.662 hektare, masing-masing di Kabupaten Solok Selatan (2.939 ha), Solok (1.330 ha), Sijunjung (1.174 ha), dan Dharmasraya (2.179 ha). Kerusakan serupa juga terjadi di Agam, Padang Pariaman, Pasaman, Pasaman Barat, serta kabupaten/kota lainnya.

Ironisnya, saat kerusakan tersebut belum dihentikan dan dipulihkan, Walhi menyebut Gubernur Sumbar justru mengusulkan lahan seluas 17.700 hektare yang dibagi dalam 496 blok sebagai wilayah pertambangan di 10 kabupaten di Sumatera Barat.

“Ini bukan upaya memulihkan krisis ekologis, melainkan memperluas skala eksploitasi. Dampaknya akan kembali ditanggung masyarakat,” pungkas Wengki. (almadi)

Exit mobile version