Padang – Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa (DPW PKB) Provinsi Sumatera Barat H. Febby Datuk Bangso sangat menyesalkan penganiayaan yang terjadi di Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Ikhlas, di Kabupaten Tanahdatar, Sumatera Barat.
“Proses hukum harus dijalankan. Usut sampai tuntas. Berikan hukuman yang setimpal pada pelaku. Tak hanya itu, pengelola Ponpes juga harus bertanggunjawab,” kata H. Febby Datuk Febby, geram.
Dia tak bisa menyembunyikan rasa geramnya. Ia tak habis pikir. Seorang anak dianiaya oleh belasan seniornya. Penganiayaan itu tidak hanya sekali atau beberapa menit saja, tetapi berlangsung berhari-hari.
“Masa anak pondok pesantren berkelakuan dan berkepribadian seburuk itu?” tanyanya, “pasti ada sesuatu yang keliru,” katanya melihat persoalan lain di balik kejadian sangat buruk tersebut.
Datuk Febby —sapaan akrab H. Febby Datuk Bangso— yang juga Sekretaris Dewan Penyantun Universitas Negeri Padang menaruh keyakinan, kepolisian pasti akan melakukan langkah-langkah hukum yang tepat dan benar.
“Jika perlu, pengelola pondok juga harus diproses,” pintanya karena kejadian di pondok yang berlangsung beberapa hari tersebut tidak terdeteksi oleh pengelola.
Katanya, pondok pesantren yang seharusnya tempat mendidik generasi bangsa, tempat mendapatkan ilmu, tempat untuk melahirkan insan beragama, justru berubah menjadi tempat pembunuhan, “ini kan sudah keterlaluan,” katanya.
Ia melihat, dari satu sisi pengelola pondok tidak peduli dan tidak memiliki perhatian terhadap anak-anak mereka yang ada di pondok. Semua berada di pondok, kenapa ketika terjadi perubahan tidak diketahui sama sekali?
“Bagaimana pengawasan dan pembinaannya?” tanyanya sembari menyebutkan, kondisi ini bisa berakibat antipatinya masyarakat terhadap kehidupan pondok pesantren dikemudian hari.
Di sisi lain, ia juga mempertanyakan perihal “input” peserta didik yang masuk ke pondok tersebut, “jangan-jangan demi mengejar jumlah siswa dan lainnya, proses rekrutmen diabaikan saja,” katanya.
Besarnya perhatian Datuk Febby terhadap persoalan tersebut, sebenarnya tidak sekarang saja. Pada Oktober 2014, seperti ditulis www.kompas.com, ia pernah dilaporkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) karena pengunggah video dugaan penganiayaan anak SD di Buktittinggi ke situs YouTube, diperiksa Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Barat (Sumbar) di Polres Bukittinggi. Ia kemudian diperiksa dengan 21 pertanyaan dari pihak kepolisian.
Ia menyebutkan, 21 pertanyaan yang diajukan oleh pihak kepolisian tersebut berkaitan dengan asal video, bagaimana bisa didapatkan, mengapa diunggah, dan pertanyaan lain seputar hal itu.
Ketika itu, katanya, ia kecewa pada KPAI yang tidak fokus untuk menyelesaikan persoalan dengan memberikan konseling pada korban agar tidak trauma juga kepada pelaku yang juga masih anak-anak, tetapi malah merekomendasikan untuk menangkap pengunggah video.
“Seharusnya orang-orang KPAI pusat itu datang ke Bukittinggi, lihat dan pahami apa yang terjadi, kemudian carikan jalan keluar baik untuk anak sebagai korban, juga anak-anak lain sebagai pelaku. Bukan mendorong untuk mempidanakan orang yang mengunggah video. Apakah dengan menangkap dan mempidanakan saya persoalan kekerasan di sekolah itu lantas selesai?” katanya.
Ia menjelaskan, motivasi dirinya untuk mengunggah video itu ke YouTube adalah karena keprihatinan sebagai anggota masyarakat dan sebagai orangtua yang juga memiliki anak.
Ia berharap dengan mengunggah video itu ke media sosial, pengambil kebijakan di Sumbar mengetahui potret pendidikan di daerah ini, kemudian secara bersama-sama mencari jalan keluar untuk merumuskan kebijakan yang ramah anak bagi pendidikan di Sumbar. (*)