Iding Soemita: Dari Kuli Kontrak Sunda Menjadi Pemimpin Kaum Jawa di Suriname

Sebuah Kisah Nyata Perjuangan, Air Mata, dan Kebangkitan Harga Diri Leluhur Nusantara

Tahun 1925, sebuah kapal uap bernama Simaloer bertolak dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Di dalamnya, ratusan buruh kontrak dari berbagai daerah di Jawa berangkat menuju sebuah negeri asing bernama Suriname, koloni kecil milik Belanda di Amerika Selatan.

Di antara mereka, terdapat seorang pemuda 17 tahun bernama Iding Soemita, anak kampung dari Cikatomas, Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia meninggalkan desanya dengan penuh harapan dan janji pada dirinya sendiri: mencari penghidupan, dan suatu hari, kembali ke tanah kelahiran.

Namun siapa sangka, perjalanan yang awalnya bernama harapan itu justru membawanya menuju takdir penuh perjuangan. Perjalanan menyeberangi samudra itu memakan waktu 44 hari, menghadapi ombak ganas Samudra Atlantik, tidur di palka kapal yang sempit dan lembab, dengan tubuh yang lelah dan hati yang terus merindukan kampung halaman.

Pahitnya Kehidupan di Perkebunan Marienburg

Sesampainya di Suriname, Iding ditempatkan di perkebunan gula Marienburg. Di sana, Iding yang memiliki sedikit pendidikan mendapat tugas sebagai oppasser (asisten medis), merawat buruh-buruh kontrak yang terluka karena kerja paksa, terserang penyakit tropis, dan kekurangan gizi.

Namun lebih dari sekadar pekerjaan, Iding menyaksikan ketidakadilan yang begitu kejam. Para buruh dipaksa bekerja hingga 12 jam setiap hari, menerima upah hanya 60 sen untuk laki-laki dan 40 sen untuk perempuan. Bila ada yang meninggal dunia, mereka dikubur begitu saja, tanpa kain kafan, tanpa doa, tanpa penghormatan.

Dalam hatinya, Iding berkata,

“Hati saya hancur. Saudara sebangsa, sedarah, seiman, dikuburkan tanpa kehormatan di negeri asing seperti ini. Tidak boleh dibiarkan.”

Sejak saat itu, Iding berjanji suatu hari akan mengubah nasib kaumnya.

Lahirnya Kas Gotong Royong Pemakaman

Didorong oleh rasa kemanusiaan dan nilai-nilai luhur bangsa, Iding menggagas sebuah inisiatif sederhana namun bermakna besar: mendirikan kas gotong royong pemakaman.

Ia mengajak para buruh untuk menyisihkan sedikit upah mereka setiap bulan. Tujuannya agar jika ada kawan sesama buruh yang meninggal, dapat dimakamkan secara layak, dengan kain kafan, doa, dan penghormatan.

Awalnya gagasan ini ditentang keras oleh para pengawas perkebunan. Tapi Iding tak gentar. Dengan kegigihan dan keyakinan, dalam waktu beberapa bulan, hampir seluruh komunitas buruh Jawa dan Sunda di Suriname mendukung inisiatif tersebut.

Inilah awal mula terbentuknya solidaritas sosial pertama komunitas Nusantara di Suriname, yang kelak menjadi kekuatan penting di negeri rantau itu.

 “Moelih n’ Djawa” Menuntut Janji Pulang

Pada tahun 1933, ketika kontrak kerja 5 tahun berakhir, para buruh berharap bisa kembali ke tanah air, sesuai janji pemerintah kolonial Belanda di awal keberangkatan. Namun janji itu hanyalah tipuan belaka.

Menyaksikan kekecewaan dan keputusasaan para buruh, Iding memimpin sebuah gerakan bernama “Moelih n’ Djawa” (Pulang ke Jawa). Ia menulis surat resmi kepada Pemerintah Hindia Belanda, menyuarakan aspirasi dan jeritan para buruh kontrak di tanah seberang.

Dalam suratnya, Iding menulis tegas:

“Kami orang Jawa dan Sunda menuntut hak kami kembali ke tanah leluhur kami, sebagaimana dijanjikan.”

Gerakan ini mendapat perhatian luas, baik di Suriname maupun di Hindia Belanda. Meskipun hasilnya tidak langsung tercapai, suara para buruh kontrak yang selama ini bungkam akhirnya mulai didengar.

Mendirikan Partai Kaum Tani Persatoean Indonesia (KTPI)

Pasca Perang Dunia II, situasi politik di Suriname mulai berubah. Kesempatan untuk membela hak-hak komunitas Nusantara pun terbuka.

Melihat peluang ini, pada 24 April 1946, Iding mendirikan organisasi sosial bernama Persatoean Indonesia (PI), wadah berkumpulnya orang Jawa dan Sunda di Suriname.

Pada tahun 1949, organisasi ini berkembang menjadi partai politik bernama Kaum Tani Persatoean Indonesia (KTPI). Partai ini memperjuangkan hak-hak kaum petani, buruh, dan pelestarian budaya Indonesia di tanah rantau, serta memperjuangkan agar keturunan buruh kontrak mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Duduk di Parlemen, Menggugat dari Mimbar

Pada pemilihan umum pertama di Suriname tahun 1949, KTPI berhasil meraih dua kursi di parlemen kolonial. Salah satunya diisi oleh Iding Soemita, anak desa dari Cikatomas yang pernah berangkat sebagai kuli kontrak.

Di dalam parlemen, Iding berdiri lantang, menyuarakan hak-hak buruh, pentingnya pendidikan, akses lahan pertanian, dan pelestarian budaya Nusantara.

Di hadapan para anggota parlemen, ia berkata:

“Orang Jawa dan Sunda bukan sekadar buruh. Kami manusia merdeka, kami punya harga diri, dan kami pantas dihormati di negeri mana pun.”

Perkataannya membuat ruang sidang hening, seakan sejarah kembali ditulis di atas tanah rantau itu.

Warisan Kehormatan dan Akhir Hayat

Sepanjang hidupnya, Iding Soemita dikenal sebagai pribadi sederhana, jujur, dan teguh memegang prinsip. Ia menolak hidup mewah meskipun posisinya penting di parlemen. Iding tetap tinggal di rumah kecil di Commewijne, dekat dengan rakyat yang diperjuangkannya.

Pada tahun 1972, ia pensiun dari dunia politik dan menyerahkan kepemimpinan KTPI kepada putranya, Willy Soemita.

18 November 2001, Iding Soemita menghembuskan napas terakhir di usia 93 tahun. Ribuan orang keturunan Jawa dan Sunda di Suriname berkumpul, melepas kepergiannya dengan air mata, doa, dan gamelan pengiring.

Warisan yang Tak Boleh Terlupakan

Iding Soemita bukan hanya seorang politisi. Ia adalah pahlawan sejati diaspora Nusantara, yang memperjuangkan harkat, martabat, dan harga diri bangsanya di negeri orang.

Dari seorang kuli kontrak tanpa harapan, Iding membuktikan bahwa rakyat kecil pun bisa bangkit, bersuara, dan diakui. Namanya kini abadi sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah komunitas Indonesia di Suriname dan diakui pula di tanah air. (ditulis oleh : @dunia.sjr)