Tarmizi Mawardi akrab dipanggil Tarmizi oleh rekan-rekannya semasa jadi pegulat tahun 90an. Prestasinya luar biasa, membawa Sumbar juara umum Piala Presiden bersama Rusdi Jambak dan Ilmarizal serta beberapa pegulat lainnya. Sekarang Tarmizi bukan lagi jadi atlet, dia sudah berubah. Gayanya Amerika, maklum sudah 21 tahun tinggal di negeri Paman Sam.
Tarmizi mudik ke Padang, hampir sebulan lamanya berkumpul dengan sanak saudaranya di ranah Minang. Banyak yang ingin tau apa saja kerjanya dirantau orang. Tarmizi sekarang makin tajir, maklum pengusaha muda Amrik. Untuk sukses seperti ini katanya tidak gampang. Apalagi hidup di negara asing budayanya ibarat langit dan bumi.”Semuanya berkat doa dan diiringi tekad yang bulat.”Kalau ingat susahnya ingin pulang ke Padang,” ujarnya.
Dia berkisah kenapa AS begitu jumawa dalam setiap ivent olahraga dunia. Semuanya berkat kepedulian pemerintah AS mengelola olahraga. Anak usia dini mereka latih secara profesional dengan mengontrak pelatih yang tidak diragukan kemampuanya. Dan tidak lupa finasial. Olahraga tanpa money jangan harap bakal maju. Jadi uang kunci utama untuk pembinaan olahraga.“Untuk olahraga pemerintah AS bersedia menggaji pelatih usia dini dengan standart lumayan,’katanya.
Kunci keberhasilan olahraga memang tak lepas dari persoalan dana. Jika kucuran dana dari pemerintah berlimpah ruah maka kondisi atlet otomatis terjaga. Apa yang ditargerkan dapat tercapai. Dan rakyat ikut bangga.. Lalu bagaimana dengan atlet Sumbar? Soal dana juga tidak diragukan Rp 30 Miliar dikucurkan gubernur lewat APBD. Tapi jangan tanya target atau bonus PON XIX Jabar. Siapa yang bertanya berarti mengkritik penguasa.
Satu hari, Tarmizi entah kenapa pula berkunjung ke padepokan gulat Sumbar di komplek GOR H. Agus Salim, Padang. Meski sudah puluhan tahun dirantau orang, cintanya pada olahraga gulat tidak pernah pudar. Dia sempat bertanya kepada pelatih gulat, Ediswal bagaimana perkembangan atlet dan peluangnya di PON Jabar. Sang pelatih hanya bisa menjawab antara ada dan tiada. Ini membuat keinginan tau Tarmizi makin berlipat-lipat. Ada apa sebenarnya?
Mantan pegulat andalan Sumbar ini nyaris tak percaya mendengar penjelasan dan semua yang dia lihat dengan mata kepala sendiri. Pegulat yang dipersiapkan untuk berlaga pada PON untuk makan saja susah. Mereka bertanak nasi lalu makan bersama-sama. Apakah layak mereka disebut atlet PON? “Ah, sudahlah.” Bisik bathin Tarmizi penuh prihatin. Bathinya berucap tidak elok membandingkan dengan daerah lain.
Kata orang dana KONI Sumbar sekarang gede, kata orang pula ketua KONI sekarang selalu sidak dan perhatian terhadap cabang olahraga. Artinya, tidak mungkin ada atlet yang kurang gizi apalagi makan sepiring bersama. Kalau pun ada itu fitnah. Sebab, sudah biasa mereka makan seperti itu demi kebersamaan. Ahay. Itu salah atlet uang saku sudah diberi Rp 45 ribu satu hari. Jadi pandai-pandailah manfaatkanlah uang saku tersebut.
Usai melihat pegulat latihan, Tarmizi balik pulang dengan pikiran gundah gulana. Dia tak habis pikir kenapa juniornya malang nian nasibnya. Bagaimana mau bertanding dari asupan gizi saja sudah kalah dengan atlet lain. Padahal, cabang gulat salah satu andalan untuk meraih medali emas PON Jabar nanti. Tapi kok, kayak ngene menunya.” Kalau begini bisa sakit kuning atlet, dipaksa latihan keras tanpa diimbangi gizi yang masuk,” ujar Tarmizi.
Keprihatinan Tarmizi harus disikapi positif jangan dianggap berseberangan pula dan jangan sampai dipolisikan dinilai pencemaran nama baik. Ia datang jauh dari negara yang maju disegala bidang, wajar terkaget-kaget melihat adik-adiknya seperti itu. Apakah pengurus KONI tau kondisi sebenarnya. Tak mungkinlah, mereka tidak tau sebab KONI punya tim satgas yang siap diterjunkan jika keadaan darurat. Atau pegulat Sumbar belum darurat karena marasmus