Oleh: Almadi
Kabupaten Kudus-Pertama kali menginjakan kaki di Kabupaten Kudus, ada kesan dan perasaan spritual, Masjid nan indah besar tak jauh jaraknya. Masyarakatnya taat dengan ajaran Islam. Ini berbeda yang diucapkan sebagian orang sebelum menginjakan kaki di sini.
Kudus dikenal sebagai Kota Wali, kota yang sarat nilai spiritual dan sejarah dakwah Islam. Namun di balik citra religius itu, masyarakat sering mengeluhkan munculnya praktik-praktik menyimpang yang meresahkan, termasuk dugaan penyalahgunaan sejumlah penginapan sebagai tempat perbuatan asusila.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Kudus, tetapi juga di berbagai kota lain di Indonesia. Umumnya, hal ini dipicu oleh lemahnya pengawasan, praktik izin usaha yang longgar, dan perubahan gaya hidup masyarakat yang makin permisif terhadap perilaku maksiat.
Tokoh masyarakat dan ulama di Kudus menilai, fenomena ini harus disikapi dengan bijak — tidak dengan kebencian, tetapi melalui penguatan iman, kontrol sosial, dan regulasi yang tegas. Pemerintah daerah bersama aparat penegak hukum diharapkan melakukan pengawasan berkala, terutama terhadap penginapan dan tempat hiburan malam yang berpotensi disalahgunakan.
Kudus sebagai kota religius harus kembali meneguhkan identitasnya: kota yang beriman, berbudaya, dan berakhlak.Warisan dakwah Sunan Kudus yang menekankan kasih sayang, toleransi, dan keadilan sosial seharusnya menjadi semangat utama dalam menata kehidupan masyarakat di era modern ini.
Toleransi yang begitu tinggi akhirnya disalah gunakan, bahkan, mereka terpaksa tutup mata seakan tak tahu.
“Rata-rata mereka yang berbuat maksiat datang daerah lain, boleh kita lihat plat kendaraan yang nereka gunakan datang ke sini,” ujar sopir yang saya tumpangi menuju Alun-alun Simpang Tujuh, Kudus.
Ketidak berdayaan warganya memang lagi diuji keimanannya, ingin bertindak sendiri takut melanggar hukum. Mereka terpaksa dibungkam itulah Kudus. Di balik hiruk pikuk kehidupan modern dan geliat industrinya, kota kecil ini menyimpan kisah spiritual yang begitu dalam. Kudus dikenal sebagai “Kota Wali”, sebuah julukan yang mengakar dari sejarah panjang penyebaran Islam di tanah Jawa.
Sosok utama yang menorehkan nama Kudus dalam peta sejarah Islam Nusantara adalah Sunan Kudus, atau Ja’far Shodiq, salah satu dari sembilan wali penyebar Islam di Jawa. Ia dikenal sebagai ulama yang bijaksana, lembut dalam berdakwah, dan menghargai kearifan lokal. Sunan Kudus tidak hanya membangun masjid, tapi juga membangun peradaban — menjembatani nilai-nilai Islam dengan tradisi masyarakat setempat yang saat itu masih kental dengan budaya Hindu-Buddha.
Masjid Menara Kudus menjadi simbol dari perpaduan itu. Berdiri megah dengan arsitektur unik yang memadukan gaya Hindu-Jawa dengan elemen Islam, menara bata merahnya mirip candi, namun fungsinya adalah tempat azan. Di sinilah keindahan toleransi dan kearifan dakwah Sunan Kudus terpancar.
Hingga kini, Kudus tetap hidup dalam irama tradisi. Setiap bulan Muharram, masyarakat menggelar Buka Luwur Sunan Kudus, sebuah peringatan untuk mengenang sang wali. Ribuan orang datang dari berbagai daerah untuk ikut serta, membawa tumpeng, sesaji, dan doa yang disatukan dalam suasana khusyuk dan kebersamaan.
Selain itu, Kudus juga dikenal dengan larangan menyembelih sapi yang masih dijaga oleh sebagian masyarakatnya. Sebuah bentuk penghormatan terhadap keyakinan umat Hindu di masa lalu, yang ditekankan oleh Sunan Kudus agar dakwah Islam berlangsung damai tanpa menyinggung kepercayaan lain.
Meski dikenal sebagai kota spiritual, Kudus juga berkembang menjadi pusat industri. Di sinilah lahir berbagai perusahaan besar yang menjadi denyut ekonomi masyarakat. Namun di balik modernitas dan kesibukan pabrik, nuansa religius masih kuat terasa. Azan berkumandang dari masjid dan surau kecil, sementara nilai-nilai keislaman dan sopan santun tetap menjadi dasar interaksi sosial warganya.
Bagi banyak orang, berkunjung ke Kudus bukan hanya perjalanan wisata religi, tapi juga ziarah batin. Setiap langkah menuju kompleks Makam Sunan Kudus terasa seperti undangan untuk menenangkan diri, mengingat asal, dan memperbarui niat hidup dengan kesederhanaan dan keikhlasan.
Kudus mengajarkan bahwa menjadi “kota wali” bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang bagaimana masyarakatnya menjaga nilai-nilai luhur: toleransi, kebaikan, dan keikhlasan — yang kini makin langka di tengah gemuruh zaman. (almadi)