*Ketua Umum PSP Tak Harus Walikota*
_Oleh : Nofrialdi Nofi Sastera*_
Sejak terakhir jadi pengurus PSP pada akhir 2008, saya sengaja tidak pernah mau memberi komentar tentang PSP Padang, baik di media cetak, radio maupun media sosial. Pertama karena pertimbangan komentar saya bisa saja salah atau kurang tepat dimana akibatnya mungkin bisa lebih memperburuk keadaan. Kedua, dan ini yang lebih penting, yakni soal etis. Sebagai mantan pengurus, sangatlah tak elok berkomentar terhadap pekerjaan teman yang menggantikan kita. Sebab salah-salah nanti saya bisa dikatakan belum _move on_. Selain itu karena saya juga sangat menghargai teman lain yang sudah mau mengurus PSP.
Bicara tentang mengurus PSP, jangan bayangkan semua akan berlangsung enak, lancar, bergaji besar, bisa pergi kemana-mana serta banyak fasilitas lain. Dengan bantuan APBD yang tak seberapa serta kurang inovasi dan kreatifitas pengurus untuk mencari dana, jelas lagu yang sering terdengar di PSP adalah lagu sedih ketimbang lagu gembira. Pengurus akan lebih sering memutar otak untuk mengolah dana yang tak seberapa untuk memenuhi tuntutan masyarakat agar PSP maju dan berprestasi. Prestasi selama beberapa tahun terakhir dimana PSP masih tetap bermain di level terbawah kompetisi dan bahkan sudah ditinggalkan beberapa adik barunya seperti Batang Anai FC dan Solok FC adalah cerminan betapa susahnya pengurus yang khabarnya sudah _over time_ masa kepengurusannya itu mengelola pendanaan dan tuntutan prestasi.
Di tulisan ini, saya hanya mencoba menyoroti pertanyaan yang berkembang akhir-akhir ini khususnya tentang haruskah Walikota yang jadi Ketua Umum PSP Padang? Namun sebelumnya mohon dicatat, apa yang saya tulis tentunya bukanlah soal _like and disclike_. Tapi ini hanya sumbang saran berdasarkan pengalaman saya yang cukup lama mengurus PSP, baik sejak masih jadi panitia pertandingan PSP, Sekretaris Eksekutif sampai periode 2004-2008 menjadi Sekum PSP.
Jabatan Ketua Umum PSP Padang adalah jabatan yang konsekwensinya ‘ngeri-ngeri nikmat’. Ngeri karena ketika PSP kalah atau gagal, maka hujatan dan makian akan sangat banyak diterima, dan ini jelas sangat kurang baik untuk harga diri seorang Walikota. Sedang nikmatnya didapat hanya ketika PSP sukses di sebuah kompetisi/turnamen atau juga sukses di bidang lain seperti ada pemain PSP yang terpilih jadi pemain nasional, dll.
Dengan catatan ‘ngeri-ngeri nikmat’ tadi, maka sebaiknya tidaklah mutlak Walikota Padang yang harus jadi Ketua Umum PSP. Sebab ketika masa ‘ngeri’ itu datang, maka sangatlah tidak elok ketika Walikota harus dihujat dan dicaci banyak pencinta PSP. Di sini, saya cenderung mengusulkan agar biarlah Wakil Walikota yang jadi Ketua Umum. Intinya, ketika PSP kalah dan dihujat maka masih ada Walikota sebagai bamper terakhir yang akan menjawab hujatan publik dengan statemen yang menyejukkan sekaligus mendukung langkah si Wakil Walikota. Bayangkan kalau Walikota yang jadi Ketua Umum. Lalu ketika ia dihujat, siapa yang akan membelanya lagi.
Setidaknya pola dan pemikiran seperti itulah yang pernah dilakukan pengurus PSP periode 2004-2008, saat saya jadi Sekum PSP. Ketua Umum PSP saat itu adalah Bapak Yusman Kasim Wakil Walikota. Sedang Walikota (saat itu Pak Fauzi Bahar) hanya jadi Pembina.
Syukurnya selama periode itu secara prinsip PSP tidak sempat menerima cacian dan makian yang berlebihan, kecuali hanya masalah gaji yang terlambat. Sebab selama periode 2004-2008 itu prestasi PSP selalu baik. Tahun 2004 PSP berada di Divisi III. Tapi tahun 2005 PSP sudah naik ke Divisi II. Tahun 2006, PSP terus naik ke Divisi I. Terakhir tahun 2007, PSP sudah berada di Divisi Utama. Hal itu semua bisa dicapai karena adanya kekompakan, fokus dan ditopang perencanaan matang yang dibuat sejak awal kepengurusan PSP telah tersusun.
Bicara soal APBD, selama periode tersebut, bantuan yang diterima PSP setahu saya juga hanya berkisar Rp 2 M sampai Rp 2,5 M. Namun yang menjadi kunci sukses PSP saat itu adalah karena saat itu pengurus fokus untuk prestasi PSP Senior maupun PSP Yunior U-18, hal mana seharusnya memang itulah tugas utama sebuah klub. Pada saat itu pengurus PSP memang tidak pernah berniat untuk membentuk tim PSP U-10, U-12, U-14 atau U-16 maupun Akademi PSP. Sebab selain secara prinsip pekerjaan pembinaan adalah kerja PSSI Padang, juga karena pengurus PSP saat itu fokus dengan target prestasi yakni kembali ke Divisi Utama, hal mana yang kemudian sukses dicapai di tahun 2007.
Kembali ke soal Ketua Umum PSP, mungkin tak salah kalau Wawako terpilih, _Adinda_ Hendri Septa (Beliau Adik Kelas saya di SMA 2 Padang), dipercaya jadi Ketua Umum. Dari beberapa berita dan postingan akhir-akhir ini, saya melihat Beliau cukup respon dengan PSP dan sering berkunjung melihat PSP latihan. Sebab dengan diangkatnya Beliau jadi Ketua Umum PSP, otomatis beban kerja dan beban pikiran Pak Mahyeldi akan sedikit berkurang dan bisa lebih fokus kepada pembangunan kota Padang. Sekali lagi, mengurus PSP bukanlah pekerjaan gampang. Karena itu dibutuhkan perencanaan yang matang, fokus dengan target, _team work_ yang kuat serta kerjasama tim yang saling isi mengisi.
Bahwa ada yang mengusulkan selain Wakil Walikota atau Walikota menjadi Ketua Umum PSP, saya pikir juga tidak salah. Tapi dari sisi lebih bertanggungjawab – karena konsekwensi PSP adalah masih tetap bonden kota Padang, mungkin yang terbaik pilihannya adalah Wakil Walikota. Pak Walikota cukuplah jadi Pembina dan sesekali nanti perlu menjadi bamper yang menyejukkan jika PSP mengalami masa ‘ngeri’ seperti yang dikatakan di atas.
Terakhir, apa yang Saya sampaikan ini tentu hanya merupakan sebuah sumbang saran yang mungkin bisa jadi perbandingan. Paling tidak sebagai mantan Sekum PSP, wajar kalau saya ingin memberikan saran untuk pengurus PSP sekarang. Kalau memang itu dianggap baik silahkan diterapkan. Tapi kalau tidak, juga tidak masalah. Salam
( _Penulis adalah Wartawan Olahraga Senior dan mantan Sekum PSP Tahun 2004-2008_ )