PADANG–Bagi sebagian orang, kampung halaman itu dipanggil oleh rindu. Tapi bagi sebagian urang Minang di rantau, panggilan pulang datang dari aroma rendang yang teringat pada satu nama, Rumah Makan Beringin. Terletak di Jalan Imam Bonjol, rumah makan legendaris ini bukan sekadar tempat singgah, tapi penanda pulang, penanda selera, dan penanda kenangan.

Begitulah yang dirasakan Zulkifli, perantau asal Solok yang baru mendarat di Bandara Internasional Minangkabau (BIM). Begitu ban pesawat berhenti, bukan keluarga dulu yang muncul di pikirannya melainkan sepiring rendang jengkol yang pernah membuatnya nyaris menitikkan air mata bahagia karena sudah lama merindukanya.
“Pak, antarkan saya ke Rumah Makan Beringin, jalan Imam Bonjol,” katanya mantap pada sopir penjemput.
Sopir itu terkekeh kecil, bukan heran tapi paham betul. “Rumah Makan Beringin tu memang dari dulu terkenal, Uda. Rendangnyo ndak ado lawan,” jawabnya sambil memutar kemudi menuju pusat kota Padang.
Rumah Makan Beringin bukan pemain baru di dunia perkulineran Padang. Berdiri sejak era 70-an, generasi yang pernah makan di Terminal Goan Hoat pasti masih ingat kedai sederhana yang selalu ramai itu. Lokasinya kini telah berubah menjadi bangunan pertokoan SPR yang tak berpenghuni.
Namun, cita rasa Beringin tetap bertahan, pindah ke Imam Bonjol tapi tak kehilangan sentuhan lama yang membuat pelanggan tetap kembali, bahkan setelah bertahun-tahun merantau.
“Menu utamanya tetap itu-itu juga, yang bikin orang kangen. Rendang, gulai cancang, dendeng batokok, sampai ikan pangek masin. Semua ada, semua dicari,” ujar Arnol, kasir Rumah Makan Beringin.
Yang unik, Beringin tak hanya soal rasa, tapi soal “ramah dalam gelas”. Setiap orang yang duduk bahkan kalau cuma numpang menunggu akan otomatis disuguhi teh goyang, tradisi kecil yang melekat sebagai bentuk keramahan ala Minang.
Bagi pelanggan setia, ada satu menu yang sering bikin mereka “lupa diri” rendang jengkol. Tak semua rumah makan sanggup mengolah jengkol menjadi lembut tanpa kehilangan karakter. Di Beringin, jengkol dibikin empuk, digulai pekat, dan direndang hingga harum menggigit.
Ada juga nila bakar yang aromanya merayap sampai ke jalan, ayam gulai yang kuahnya kental khas Minang, serta pergedel yang entah kenapa selalu terasa lebih enak dari buatan rumah sendiri.
“Kalau harga, masih termasuk merakyat. Banyak yang bungkus nasi untuk perjalanan, dari mahasiswa sampai sopir travel,” sebut kasir Rumah Makan Beringin.
Letaknya yang strategis membuat Beringin seperti simpul pertemuan orang daerah. Kalau musim libur, jangan harap bisa langsung dapat meja. Perantau dari Pesisir Selatan, Payakumbuh, Pasaman, sampai Agam, sering menjadikan Beringin sebagai “rumah singgah rasa”.
Karena bagi mereka, pulang ke kampung itu lebih lengkap kalau perut sudah berisi rendang gurih dan sambal lado hijau panas yang disajikan dengan bada yang menambah nikmat sampai ke ujung sendok.
Zulkifli pun akhirnya berhenti di depan kedai itu, tersenyum kecil sambil menghela napas dalam. “Rasanya baru sah pulang kalau sudah makan di sini,” ujarnya.
Dan siapa pun yang pernah mencicipi menu Rumah Makan Beringin, pasti paham apa yang dimaksudkannya. Kalau Anda kebetulan lewat atau baru turun dari pesawat dan rindu pada cita rasa kampung, cobalah singgah.
Hati-hati, kemungkinan besar Anda akan ketagihan dan pulang menjadi lebih berarti. (almadi)












