Sumbarpost.com- Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) bersama DPRD telah menetapkan APBD Tahun Anggaran 2026 dalam rapat paripurna, Senin (17/11/25).
Total anggaran mencapai Rp6,41 triliun, dengan target Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp3,45 triliun. Sementara itu, pendapatan transfer dari pemerintah pusat turun signifikan, yakni Rp2,75 triliun atau berkurang Rp429,7 miliar dari tahun sebelumnya.
Wakil Ketua DPRD Sumbar, Evi Yandri Rajo Budiman, menegaskan bahwa penurunan dana transfer ke daerah (TKD) harus dijawab dengan langkah konkret dari Pemprov. Kekurangan anggaran sebesar Rp429,7 miliar, menurutnya, tidak boleh menghambat program prioritas daerah.
“Untuk menutupi kekurangan TKD ini, Pemprov dan DPRD mengoptimalkan PAD dari berbagai sektor, seperti Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebesar Rp18 miliar, Pajak Air Permukaan Rp577 miliar, Pajak Alat Berat Rp6,95 miliar, dan retribusi daerah Rp21,5 miliar. Total potensi tambahan mencapai Rp618 miliar,” ujar politisi Gerindra tersebut.
Evi Yandri memaparkan bahwa DPRD bersama tenaga ahli dan OPD terkait telah menuntaskan kajian mendalam mengenai Pajak Air Permukaan (PAP). Rekomendasi resmi telah disampaikan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur pada 8 November 2025. Rekomendasi tersebut juga mencakup optimalisasi Pajak Alat Berat dan Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB), sesuai amanat UU Nomor 1 Tahun 2022.
Menurut hasil kajian, potensi PAP di Sumbar—khususnya dari sektor industri dan perkebunan—mencapai hampir Rp600 miliar. Hal ini merujuk pada regulasi UU Nomor 1 Tahun 2022 dan Permen PUPR tentang mekanisme perhitungan nilai perolehan air permukaan.
Ia mendesak Pemprov segera merevisi Pergub Nomor 13 Tahun 2023 terkait penetapan Nilai Perolehan Air Permukaan (NPAP). Evi menilai formula tarif, mekanisme pengawasan, pelaporan, dan verifikasi masih belum kuat. Revisi diperlukan untuk memastikan kejelasan tarif PAP sektor perkebunan, termasuk penyesuaian faktor ekonomi wilayah berdasarkan PDRB tahun sebelumnya.
“Tarif bisa dikembangkan berbasis klaster, seperti volume penggunaan atau luas lahan, seperti yang diberlakukan di Jawa Tengah dan Sulawesi Barat,” tambahnya.
Evi mencontohkan, luas perkebunan sawit yang dikelola perusahaan swasta di Sumbar mencapai sekitar 217 ribu hektare, belum termasuk perkebunan BUMN dan masyarakat. Dengan potensi sebesar ini, ia menilai perlunya pengawasan ketat dan sistem pelaporan yang akurat agar penerimaan pajak benar-benar optimal.
Untuk memastikan seluruh potensi pendapatan dapat tergarap maksimal, Evi mendorong pembentukan Tim Percepatan Optimalisasi Pajak Daerah melalui SK Gubernur. Tim ini harus beranggotakan Sekda, para asisten, Bapenda, Dinas SDA, Dinas Perkebunan, Dinas ESDM, Biro Hukum, Inspektorat, serta unsur Forkopimda seperti Kejaksaan Tinggi dan kepolisian.
Tim tersebut bertugas melakukan supervisi pendataan, penetapan tarif, pengawasan pemungutan, sampai persiapan pilot project di daerah dengan basis perkebunan terbesar seperti Pasaman Barat, Dharmasraya, Solok Selatan, Pesisir Selatan, Sijunjung, dan Agam.
Ia juga mendorong perumusan skema bagi hasil dengan kabupaten penghasil serta penguatan basis data melalui sistem digital terpadu.
Agar implementasi pungutan PAP berjalan efektif dan diterima dunia usaha, Evi menyarankan Pemprov membuka ruang dialog dengan perusahaan sawit, teh, kopi, dan sektor industri lainnya melalui forum kesepakatan bersama. Pendekatan ini penting untuk membangun kepatuhan wajib pajak dan memastikan pemanfaatan pajak berkontribusi langsung pada perbaikan infrastruktur dan sanitasi di kawasan perkebunan.
Selain itu, Evi meminta Pemprov memperkuat aspek kepastian hukum melalui MoU dan pendampingan Kejaksaan Tinggi serta Kepolisian, khususnya dalam pengawasan PAP, Pajak Alat Berat, dan Opsen MBLB.
“Dengan langkah-langkah ini, kita berharap optimalisasi PAD tidak hanya menutup kekurangan anggaran, tetapi juga memperkuat kemandirian fiskal daerah secara berkelanjutan,” tutupnya.(gulo)












