Jakarta—Kementerian PUPR terus melakukan pembinaan terhadap para penyedia jasa konstruksi kecil dan menengah untuk tumbuh. Kesempatan lebih besar juga diberikan kepada para perusahaan konstruksi (kontraktor dan konsultan) swasta nasional dan lokal untuk meningkatkan kemampuannya melalui keterlibatan proyek dengan nilai paket besar melalui kebijakan Kerjasama Operasi (KSO) dengan BUMN. Pemaketan pekerjaan konstruksi di Kementerian PUPR menjadi salah satu indikator keberpihakan pemerintah akan hal tersebut.
Pada tahun 2017, jumlah paket pekerjaan konstruksi di Kementerian PUPR sebanyak 3.935 paket senilai Rp 77,86 triliun. Dari jumlah tersebut 3.650 paket atau 93% senilai Rp 32.297 triliun dikerjakan kontraktor kecil dan menengah. Porsi kontraktor kecil meningkat tahun 2018, sebesar 31% atau 4.776 paket senilai Rp 31.767 triliun dari total 4.971 paket senilai Rp 59,96 triliun.
Nilai paket besar terbagi menjadi dua yakni lebih kategori dari Rp 50-100 miliar sebanyak 166 paket senilai Rp 11,65 triliun dan diatas Rp 100 miliar sebanyak 119 paket senilai Rp 33,9 miliar. “Paket diatas Rp 100 miliar, 65% dikerjakan BUMN dan 35% swasta. Untuk paket Rp 50 – 100 miliar, hanya 10% dikerjakan BUMN, sementara swasta 90%. Dibawah Rp 50 miliar sebanyak 3.650 paket, seluruhnya dikerjakan swasta,”papar Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dihadapan anggota Komisi V DPR RI dalam rapat kerja di Ruang Rapat Komisi V DPR RI, Jakarta, Selasa (31/1/2018). Rapat kerja dipimpin oleh pimpinan Komisi V DPR yakni Fary Djemy Francis, Lasarus, Muhidin M. Said dan Sigit Sosiantomo.
Jumlah badan usaha kontraktor di Indonesia saat ini berjumlah sebanyak 136.662 perusahaan. Secara rinci terbagi menjadi 116.026 perusahaan masuk kualifikasi kecil dan terbagi lagi menjadi tiga jenis sub kualifikasi. Sub kualifikasi K-1 dengan nilai paket pekerjaan yang dapat dikerjakan hingga Rp 1 milyar sebanyak 86.870 perusahaan. Sub kualifikasi K-2 dengan nilai paket pekerjaan yang dapat dikerjakan hingga Rp 1,75 miliar sebanyak 12.854 perusahaan. Sub kualifikasi K-3 dengan nilai paket pekerjaan yang dapat dikerjakan hingga Rp 2,5 miliar sebanyak 16.302 perusahaan.
Sementara jumlah kontraktor kualifikasi menengah berjumlah 19.004 perusahaan dengan dua sub kualifikasi M-1 dengan nilai proyek yang dapat dikerjakan hingga Rp 10 miliar sebanyak 15.047 perusahaan dan sub kualifikasi M-2 dengan nilai proyek yang dapat dikerjakan hingga Rp 50 miliar sebanyak 3.957 perusahaan. Kontraktor kualifikasi besar berjumlah 1.632 perusahaan yang terbagi dua sub kualifikasi yakni B-1 dapat mengerjakan proyek senilai hingga Rp 250 miliar dan B-2 yang dapat melaksanakan proyek konstruksi dengan nilai tidak terbatas.
Pembagian tersebut sesuai dengan Permen PUPR No.19 tahun 2014 tentang perubahan Permen PU No.08 tahun 2011 tentang Pembagian Sub Klasifikasi dan Sub Kualifikasi Usaha Jasa Konstruksi
Menteri Basuki menambahkan meskipun pekerjaan konstruksi oleh BUMN, namun juga didukung oleh para pemasok peralatan dan material yang merupakan pengusaha lokal. Menteri Basuki mencontohkan pembangunan Bendungan Ciawi (Cipayung) di Jawa Barat dengan biaya Rp 757,89 miliar yang dikerjakan kontraktor BUMN yakni PT. Brantas Abipraya KSO bersama dengan kontraktor swasta PT. Sac Nusantara. Dalam pelaksanaan pekerjaan juga melibatkan banyak pemasok dari swasta lokal untuk semen, pasir, kerikil, baja dan material konstruksi lainnya.
Terkait KSO, Menteri Basuki juga telah mengeluarkan kebijakan agar dalam pembangunan bendungan BUMN tidak boleh melakukan KSO dengan sesama BUMN, tetapi harus dengan swasta nasional. Hal ini bertujuan agar semakin banyak kontraktor swasta nasional memiliki kemampuan membangun bendungan, terlebih pada periode 2015-2019, Kementerian PUPR menargetkan pembangunan 65 bendungan.
Sementara itu menjawab pertanyaan mengenai anak perusahaan BUMN sebagai pemasok material konstruksi, Menteri Basuki mencontohkan BUMN PT. Waskita Karya memiliki anak perusahaan PT. Waskita Beton Pre Cast, namun bahan bakunya seperti semen, krikil, dan pasir disuplai dari swasta. Keterlibatan swasta juga besar dalam penyediaan material besi dan alat, dimana BUMN hanya dapat menyediakan 30% saja. Selain itu pekerjaan tanah/urugan sebagian besar dikerjakan swasta.
Direktur Utama PT. Waskita Karya M. Cholik yang hadir dalam Raker tersebut mengatakan komposisi proyek yang dikerjakan oleh PT. Waskita Karya yakni APBN 6%, APBD tidak ada dan 94% merupakan proyek investasi yang diinisiasi sendiri. Untuk proyek pemerintah, keikutsertaan PT. Waskita Karya adalah pada proyek diatas Rp 300 miliar kecuali ada pertimbangan khusus seperti pembangunan jalan di Boven Digul, Papua. Nilai aset PT. Waskita Karya juga telah naik dari Rp 100 triliun sebelum tahun 2015, menjadi sekitar Rp 260 triliun pada tahun 2017.
*Pekerjaan Konsultansi : Mayoritas oleh Konsultan Swasta*
Sementara pekerjaan jasa konsultansi di Kementerian PUPR tahun 2017 berjumlah 3.998 paket senilai Rp 7,21 miliar. Komposisi pemaketan terdiri 40% atau 1.596 paket dengan nilai paket Rp 0-750 juta yang dikerjakan oleh perusahaan jasa konsultansi kecil dan 60% atau 2.402 paket dengan nilai paket diatas Rp 750 juta dikerjakan oleh perusahaan kualifikasi menengah dan besar.
Untuk nilai paket dibawah Rp 750 juta, seluruhnya dikerjakan oleh swasta. Keterlibatan BUMN hanya pada jasa konsultansi diatas Rp 750 juta, itu pun hanya 5% dari 2.402 paket, selebihnya 94,75% dikerjakan swasta.
Kementerian PUPR melakukan pemaketan jasa konsultansi untuk mendorong peningkatan kualifikasi penyedia dari kecil menjadi non-kecil. Peningkatan kualitas konsultan perencana dan pengawas akan memperkecil resiko terjadinya kecelakaan konstruksi.Oleh karenanya pada tahun 2018 dengan jumlah paket jasa konsultansi sebanyak 2.747 paket senilai Rp 5,42 miliar, jumlah paket dengan nilai kecil berkurang hanya sebanyak 1.017 atau 37% dari total paket.
Turut hadir mendampingi Menteri Basuki dalam Raker DPR tersebut para pejabat Tinggi Madya dan Pratama di lingkungan Kementerian PUPR serta Direksi beberapa BUMN lainnya seperti PT. Adhi Karya, PT. Pembangunan Perumahan, PT. Wijaya Karya dan PT. Hutama Karya. (*)