Indeks
Budpar  

“Ketika Rabab Mengadu Nasib, Kisah Pilu di Bawah Terik Imam Bonjol”

PADANG — Terik matahari siang itu memantul dari aspal Jalan Imam Bonjol yang ramai. Di ujung trotoar dekat Rumah Makan Beringin, tempat orang datang untuk mencari nikmatnya rendang dan gulai tunjang, suara lain muncul, jauh dari gemuruh kendaraan. Suara itu lirih, mendayu, seolah mencari telinga yang sudi berhenti sejenak dari kesibukan.

Di sanalah Fahmi, lelaki renta dan bertopi lusuh, duduk beralaskan tanah. Di pangkuannya, bukan biola mahal, bukan pula alat musik modern. Sebuah rabab yang ia rakit sendiri dari bambu, gitar bekas, dan kompor tua yang disulap menjadi resonator suara. Sederhana, nyaris seperti tak mungkin berbunyi. Tapi dari gesekan lembut tangannya, musik itu hidup, mengalun, menyentuh, seperti suara yang keluar dari dada seseorang yang sudah terlalu lama memendam.

Rabab itu berasal dari Pesisir Selatan, kampung halaman seni tutur, seni dendang, seni merajut kisah lewat suara. Kini hampir punah. Generasi muda enggan mempelajarinya, karena rabab bukan sekadar alat musik: ia adalah cerita. Ia meminta pemiliknya jadi pendongeng, pengembara kata, penyampai kisah cinta dan derita. Dan tak banyak yang sanggup memikul warisan seberat itu.

Di depannya tergeletak secarik kertas. Tulisan tangan, sederhana, namun menusuk: “Ambo hiduik talantar, bantua untuak makan, indak untuak mambangun rumah.”

Saya hidup terlantar, berikanlah bantuan untuk makan, bukan untuk bangun rumah.

Di belakang nada rabab yang mendayu itu, kehidupan Fahmi jauh dari panggung. Ia tinggal di Tarusan, Gurun Panjang, Kapuah. Ia pernah dekat dengan para maestro rabab seperti Syamsu Bahri, namun nasib tak selalu memberi panggung yang sama untuk semua pemainnya.

Ia mengusap air mata yang tak sempat jatuh. “Susah hidup kini,” katanya lirih. “Mencari kerja di Padang… payah bana.”

Suara itu sesekali lemah, tenggelam oleh bising siang hari. Namun ketika ia kembali menggesek rababnya, suara yang keluar justru seperti ingin menjerit. Menahan pahit, menahan letih.

Rabab rakitan itu bukan satu-satunya keahlian Fahmi. Ia fasih bermain gitar, juga piano kemampuan yang ia bawa saat dulu ikut rekannya ngamen dari tempat ke tempat di Riau. “Kalau di sana, saya mainkan gitar atau piano,” tuturnya sambil tersenyum tipis, membayangkan masa mudanya yang lebih cerah.

Namun sejak tahun 1990-an, ia memilih kembali ke rabab alat musik yang paling dekat dengan jiwanya. Ia ngamen hanya di sekitar Padang, sebab keluar kota memerlukan ongkos yang tak sanggup ia kejar.

Ada kalanya ia berhenti sejenak menggesek rabab, sekadar untuk menelan sisa nasi bungkus yang menjadi bekalnya hari itu. Lalu setelah itu, musik kembali mengalir. Kali ini ceritanya tentang hidup yang pahit sejak ditinggal ayah, tentang beratnya menjadi kuli angkat, hingga kerasnya bekerja di pabrik karet.

Suara rababnya bergema lembut, namun luka hidupnya bagai merambat dari nada ke nada. Rabab. Tradisi, Tangis, dan Permohonan. Di kota sebesar Padang, Fahmi hanyalah satu titik kecil di antara hiruk pikuk. Tapi ketika rabab itu berbunyi, waktu seolah berhenti sebentar. Beberapa orang menoleh. Ada yang menaruh uang receh, ada yang sekadar menyahut dengan senyum simpati.

Namun ada pula yang hanya lewat tanpa tahu, tanpa sempat mendengar, bahwa yang duduk di sana bukan sekadar pengamen. Ia adalah penjaga tradisi. Ia adalah pewaris kisah. Ia adalah seseorang yang meminta dunia untuk tidak melupakan kesenian yang hampir berpulang.

Dan mungkin, lewat rabab yang ia mainkan, ia sedang berdoa, “Rabab… tolong sampaikan derita ini.” (almadi)

Exit mobile version