Magelang, Januari 1950–Udara terasa sejuk, tapi langit seperti menahan tangis. Di sebuah wisma tentara di Badakan, tubuh yang dulu menembus hutan, menantang peluru, kini terbaring ringkih. Nafasnya pendek, namun semangatnya tetap panjang. Dialah Panglima Besar Jenderal Soedirman,lelaki kurus bersarung selimut, yang dengan langkah tertatih telah menjaga tegaknya Republik di masa tergelapnya.
Tubuh Boleh Rapuh, Jiwa tak Pernah Luruh
Beberapa tahun sebelumnya, Soedirman pulang dari medan Madiun dengan hati yang koyak. Ia menyaksikan anak-anak republik saling mengangkat senjata. Air matanya jatuh, bukan karena takut, tapi karena sedih: kemerdekaan yang diperjuangkannya dengan darah kini ternoda oleh pertikaian sesama bangsa.
Malam itu di rumah kecil Bintaran Wetan, Yogyakarta, ia menolak mandi air hangat.
“Air dingin saja,” katanya lembut pada istrinya, Siti Alfiah.
Pilihan sederhana yang mengubah segalanya. Esok paginya, tubuhnya jatuh sakit. Dokter menyebut paru-parunya rusak. Satu di antaranya harus diistirahatkan lewat operasi.
Namun siapa yang bisa mengistirahatkan semangat seorang jenderal yang hidupnya dipersembahkan untuk republik?
Dari ranjang rumah sakit, ia masih menulis sajak “25 Tahun Rumah Nan Bahagia”, ungkapan terima kasih kepada para perawat yang menjaganya. Sajak yang sederhana, namun lahir dari jiwa besar yang tak pernah mengeluh.
Perang dari Atas Tandu
Ketika agresi militer Belanda pecah pada 19 Desember 1948, Soedirman menolak perintah untuk beristirahat.
“Selama masih ada udara untuk bernapas, saya akan memimpin perang,” katanya tegas.
Dan ia menepati janjinya. Dengan paru-paru tinggal separuh, tubuh ringkihnya diusung di atas tandu. Dari balik kabut hutan dan dingin gunung, ia memimpin pasukannya berbulan-bulan dalam perang gerilya. Setiap langkah adalah doa, setiap napas adalah perjuangan.
Hujan mengguyur, perut lapar, peluru beterbangan. Tapi Soedirman tak pernah mengeluh.
“Rakyat bagaimana?” tanya yang selalu keluar dari bibirnya, bahkan di tengah pelarian.
Ia bukan sekadar panglima, ia roh perjuangan itu sendiri.
Saksi Sunyi di Lereng Sumbing
Setelah Belanda mengibarkan bendera putih dan mengakui kedaulatan Indonesia, Soedirman kembali ke Magelang. Ia memilih beristirahat di lereng, di kaki Gunung Sumbing, yang berdiri gagah seperti penjaga abadi masa perjuangannya.
Di sanalah ia menatap masa depan bangsanya. Ia tahu waktunya tak lama lagi.
Pada 18 Januari 1950, ia memanggil para perwira: Ahmad Yani, Gatot Soebroto, dan lainnya.
Suara pelannya tetap berwibawa.
“Jaga republik ini. Jangan biarkan darah yang telah tumpah menjadi sia-sia.”
Pesan itu seakan wasiat terakhir bagi mereka yang akan melanjutkan estafet juang.
“Tolong Aku Dibimbing Tahlil”
Tanggal 29 Januari 1950, sore menjelang malam.Wajah sang jenderal teduh, senyumnya tipis, napasnya berat. Usai salat magrib, ia memanggil Siti Alfiah, perempuan yang selalu setia di sisinya dari masa perang hingga kini.
Dengan suara parau, hampir tak terdengar, ia berbisik:
“Bu… aku sudah tidak kuat. Titip anak-anak… Tolong aku dibimbing tahlil.”
Siti menggenggam tangannya erat, menuntun suaminya mengucapkan kalimat tauhid: Laa ilaha illallah.
Dalam pelukan penuh cinta itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman menghembuskan napas terakhirnya. Nama Allah di bibir, dan Indonesia di dadanya.
Tak lama setelah kepergiannya, di halaman rumah itu, bendera merah putih perlahan turun setengah tiang tanpa ada yang menyentuhnya. Orang-orang tertegun. Alam seolah memberi penghormatan terakhir kepada sang panglima suci.
Tak ada dentuman meriam, tak ada parade. Hanya keheningan, doa, dan rasa kehilangan yang menyesak di dada bangsa yang masih muda. Sejak hari itu, setiap kali angin berhembus menyentuh merah putih, seakan ada suara lembut yang ikut berbisik di antara lipatan kainnya:
“Aku sudah pergi, tapi jiwaku akan tetap menjaga republik ini.”
Jenderal Soedirman telah berpulang, tapi semangatnya tak pernah mati.
Ia bukan hanya sosok dalam buku sejarah, tapi nafas dari setiap kemerdekaan yang kita hirup hari ini. (*)