Indeks

“Dari Rumah Sakit ke Rumah Sakit: Perjuangan di Hari Terakhirmu”

PADANG–Tak terasa, sudah seminggu sejak kepergianmu, Yah. Rasanya masih seperti mimpi — seolah kau masih ada di rumah, tersenyum di kursi panjang itu, memanggil dengan suara lembut seperti biasa. Tapi kini, alam kita berbeda. Di antara kehilangan, ada rasa bahagia kecil yang terselip: menjelang kepergianmu, kita sempat bersama seharian penuh — dari subuh hingga malam.

Pagi itu dimulai seperti biasa. Dari kamar, aku dengar suaramu pelan tapi jelas, “Ba a kok kareh lihia ko yo?” Kau pegang lehermu, wajahmu menahan nyeri. Benar, terasa keras. Kupikir mungkin hanya salah tidur. Seperti biasa, kuambil minyak butbut — minyak andalan keluarga kami setiap ada yang sakit — dan kuoleskan di lehermu.

Kau pun beranjak untuk shalat subuh. Aku ke kamar mandi, bersiap berwudhu. Tapi baru sebentar, kau panggil lagi, “Bunda, capeklah… sakik lihia ko.” Suaramu terdengar berat, menahan sakit. Lehermu bengkak, wajahmu pucat, dan aku tahu, ini bukan sakit biasa.

Kau bilang, “Baok ka UGD.” Aku panik, tapi mencoba tenang. “Jagoan Ali,” katamu lagi, menyebut nama tetangga kita. Dengan tergesa aku memanggil Ali, dan bersama-sama kami membawamu ke rumah sakit Hermina.

Di ruang IGD, perawat segera memeriksa. Katanya, ada kelenjar di leher yang membengkak, harus segera dioperasi. “Bapak harus dirawat inap,” ujar dokter jaga. Aku langsung menuju bagian pendaftaran. Tapi ruang rawat inap penuh. “Ibu bisa menunggu, atau kalau mau penanganan cepat, bisa ke rumah sakit lain,” kata petugas.

Waktu itu aku hanya ingin kau segera ditangani. Maka kami lanjut ke rumah sakit berikutnya, Yos Sudarso. Di IGD sana, dokter berkata, “Kami sarankan ke rumah sakit M. Jamil saja, Bu. Di sini dokter THT baru praktek sore.”

Aku bingung. Bukankah di IGD selalu ada dokter jaga? Tapi tak ada waktu untuk berpikir panjang. Kami lanjut lagi rumah sakit ketiga. Di M. Jamil, kami disambut oleh dokter koas yang datang silih berganti. Mereka bertanya banyak hal, bahkan memotret, katanya untuk bahan pelajaran. Tapi tak ada tindakan, tak ada keputusan. Ayah semakin lemas di kursi roda. Setelah setengah jam menunggu, barulah mereka bilang, “Bapak dirujuk ke poli THT, Bu.” Tidak ada pemeriksaan tensi, tidak ada tindakan darurat.

Aku hanya bisa pasrah. Dengan tenaga tersisa, aku dorong kursi rodamu ke lantai tiga. Di pendaftaran, petugas bertanya, “Umum atau BPJS, Bu?”

“BPJS,” jawabku.

“Kalau BPJS, mana surat rujukannya?” tanyanya lagi.

“Dari IGD langsung disuruh ke sini,” jelasku.

“Kalau tak ada rujukan, tak bisa daftar, Bu.”

Aku mencoba bersabar. Dari subuh kami berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, tapi belum juga ada tindakan. Aku turun lagi ke IGD, petugas di sana pun memberi jawaban sama: harus ada rujukan.

Rasanya seperti lingkaran yang tak berujung. Sementara di kursi roda, suamiku, ayah kami, makin lemah, menatapku dengan mata sayu.

Dengan sisa tenagaku, aku bawa lagi ke lantai tiga. Setelah tanya sana-sini, akhirnya kutemukan poli THT. Petugas tetap dengan jawaban tegasnya: tanpa rujukan, tak bisa.

Kadang aku berpikir, kenapa pasien BPJS sering dipersulit seperti ini? Padahal kami juga sudah bertahun-tahun membayar, bahkan mungkin lebih dulu dari mereka yang duduk di balik meja itu.

“Kalau umum, berapa biayanya?” tanyaku.

“Pendaftaran dua ratus sepuluh ribu, Bu. Belum obat dan tindakan.”

Aku menatapmu. “Ba a rancak, Yah?” tanyaku pelan.

Ayah tersenyum lemah, “Ndak bisa ayah kasih pendapat kini do…”

 

Kata-kata itu seperti isyarat. Maka kami lanjut lagi, ke rumah sakit keempat. Dalam hati aku berkata, ndak ka pai barubek ka rumah sakik ko lai do.

Sesampainya di sana, kami langsung ke IGD. Harus antre lagi. Saat akhirnya diperiksa, dokter bilang hal yang sama: tetap butuh rujukan faskes. Aku memohon agar diperiksa dulu, nanti rujukannya menyusul. Tapi petugas menjawab, “Tidak bisa, Bu. Ibu ambil saja rujukannya, bapak tinggal di sini.”

Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu dalam keadaan selemah itu? Akhirnya kami pergi bersama ke faskes. Di sana, mereka kembali memeriksa sebelum mengeluarkan surat rujukan.

Dan perjalanan itu terus berlanjut dari satu pintu ke pintu lain, dari harapan ke kelelahan. Hingga kini, seminggu setelah kepergianmu, setiap langkah hari itu masih terasa di benak.

Mungkin memang begitulah takdir yang digariskan. Tapi aku tetap berharap suatu hari nanti, tidak ada lagi istri yang harus berkeliling empat rumah sakit hanya untuk mencari pertolongan bagi suaminya yang sakit. Karena sakit seharusnya dirawat, bukan dipersulit.

Pesan untuk Tenaga Medis dan Pemerintah

Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Saya tahu, menjadi tenaga medis bukan pekerjaan mudah. Setiap hari kalian menghadapi ratusan pasien, dengan kondisi yang berbeda-beda, dengan tekanan dan tanggung jawab yang berat. Saya menghormati itu, sungguh.

Tapi saya juga ingin mengingatkan di balik setiap pasien yang datang, ada keluarga yang sedang cemas, ada istri yang sedang berjuang menahan air mata, ada anak-anak yang menunggu kabar. Kami tidak datang untuk merepotkan, kami datang karena butuh pertolongan.

Ketika petugas berkata, “Tidak bisa, harus sesuai prosedur,” saya mengerti bahwa aturan dibuat untuk kebaikan bersama. Tapi saya juga percaya, kemanusiaan harus tetap di atas segala aturan.

Satu tindakan cepat, satu empati kecil, bisa menjadi penentu antara harapan dan kehilangan. Untuk pemerintah, tolonglah perhatikan sistem pelayanan kesehatan kita. Banyak pasien kecil seperti kami yang tersesat dalam rumitnya prosedur. Dari rumah sakit ke rumah sakit, dari meja pendaftaran ke ruang tunggu, waktu terbuang dan nyawa pun bisa melayang.

Kami tidak meminta keistimewaan, hanya ingin diperlakukan dengan hati. Karena di balik kartu BPJS, ada manusia. Ada kehidupan yang ingin diperjuangkan.

Semoga kisah ini menjadi pengingat: bahwa setiap pasien bukan sekadar nama di formulir, tapi seseorang yang sedang berjuang — dengan segenap cinta dan harapan di sisinya.(**)

Exit mobile version