Jakarta – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terus mendorong pengembangan kota cerdas (smart city) untuk merespon tingginya laju urbanisasi. Kota-kota di Indonesia mengalami urbanisasi yang cukup tinggi. Pada tahun 2025, diperkirakan sebanyak 68% penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan, terutama di 12 Kota Metropolitan dan 20 Kota Sedang. Meski demikian, kawasan perkotaan memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
“Pengembangan kota cerdas di Indonesia perlu waktu. Kita sudah mulai tahun 2015 dengan menargetkan terpenuhinya standar pelayanan minimal kota-kota di Indonesia tercapai tahun 2025. Selanjutnya kita akan maju menuju kota hijau yang ditargetkan tercapai pada tahun 2035, dan kemudian pada tahun 2045 kita harapkan kita sudah mencapai pengembangan smart city,” kata Direktur Jenderal Cipta Karya Sri Hartoyo saat membuka 2nd Joint Cooperation Meeting Indonesia-Korea bertajuk “Penguatan Kerja Sama Indonesia – Korea dalam Smart City dan Transit Oriented Development (TOD)”di Jakarta, Rabu (4/7/2018).
Acara tersebut diselenggarakan Kementerian PUPR bekerjasama dengan Ministry of Land, Infrastructure and Transportation (MOLIT) Korea untuk meningkatkan kualitas perencanaan pengembangan kota cerdas (smart city). Turut hadir Direktur Keterpaduan Infrastruktur Permukiman Dwityo Akoro Soeranto dan Direktur Bina Penataan Bangunan Iwan Suprijanto.
Pada tahun 2015, Kementerian PUPR telah menyusun masterplan 35 wilayah pengembangan strategis (WPS) di Indonesia termasuk didalamnya kota cerdas berkelanjutan. Upaya ini juga dalam mendukung komitmen Pemerintah Indonesia dalam pemenuhan Sustainable Development Goals (SDG’s) dan New Urban Agenda (NUA) yang disepakati pada Konferensi Habitat III di Quito, Ekuador sebagai agenda dalam mendukung kawasan perkotaan yang layak huni.
Kota Cerdas yang Berdaya Saing dan Berbasis Teknologi ini memiliki 8 indikator yaitu smart development planning, smart green open space, smart transportation, smart waste management, smart water management, smart building, dan smart energy.
“Pengalaman Korea Selatan dalam mengembangkan smart city sejak tahun 2000, dapat menjadi pembelajaran bagi Indonesia. Hingga saat ini salah satu upaya pemerintah dalam menjawab masalah perkotaan adalah dengan memenuhi kebutuhan terhadap pelayanan infrastruktur, termasuk kebutuhan untuk infrastruktur dasar permukiman,” kata Sri Hartoyo.
Ia berharap dengan pertemuan ini bisa menghasilkan kerja sama yang nyata untuk pengembangan perkotaan yang lebih baik,layak huni (livable) dan mudah diakses (accessible).
Tantangan yang dihadapi kota-kota di Indonesia daya dukung dan tampung kota diantaranya ketersediaan permukiman layak huni, air bersih, sanitasi, akses jalan dan transportasi umum. Pembangunan infrastruktur dasar permukiman diwujudkan lewat program 100-0-100 yakni terpenuhinya 100 persen akses air minum aman, nol persen kawasan kumuh ,dan 100 persen akses sanitasi layak yang ditargetkan dapat tercapai tahun 2019.
Program 100-0-100 merupakan bagian dalam rencana jangka panjang (road map) mewujudkan pengembangan kota cerdas. Saat ini capaian nasional untuk akses air minum aman telah terpenuhi 73%, sanitasi layak sebesar 77%.
Kerjasama dari berbagai pemangku kepentingan menjadi kunci untuk mewujudkan kota cerdas. Komitmen Pemerintah Daerah dan peran aktif masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya pada setiap tahapannya, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemanfaatan dan pemeliharaan.
Deputi Direktur Kebijakan Publik MOLIT Korea Selatan Ahn See Hee mengatakan, Korea setidaknya memiliki dua kota percontohan kota cerdas yaitu Kota Busan dan Kota Sejong. Ia menyadari bahwa tidak mudah untuk mengatasi urbanisasi melalui pengembangan kota cerdas karena Korea sendiri butuh lebih dari 10 tahun untuk merealisasikannya. (*)