Meuthia, SE., M.Sc
(Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)
Menjanjikan tapi menantang. Begitulah kira-kira potret perkembangan industri fashion halal, terutama yang digerakkan oleh UMKM lokal Sumatera Barat. Selintas kata ‘halal’ terlihat dan terdengar biasa saja bagi masyarakat Sumatera Barat yang notabenenya identik dengan Islam dalam budaya mereka. Ranah minang yang terkenal dengan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABSSBK) membuat masyarakat awam berpikir bahwa produk yang berasal dari Sumatera Barat hampir sebagian besarnya sudah terjamin kehalalan-nya.
Terutama pada industri fashion, masyarakat Minangkabau sudah terkenal dengan pakaian yang menutup aurat, sehingga diasumsikan sudah sesuai syariah atau halal. Padahal, jika ditelusuri dari hulu ke hilir, pemahaman halal tidak sebatas falsafah saja. Untuk memahami suatu produk dikatakan halal, masyarakat harus mengetahui dan memastikan bahan, proses, alat, penyimpanan, pengemasan, hingga pengiriman mulai dari pemasok ke perusahaan sampai ke konsumen akhir telah menerapkan sistem jaminan halal sesuai dengan persyaratan LPPOM MUI.
Hal ini menyiratkan, perlunya edukasi guna meluruskan pemahaman halal pada masyarakat. Apalagi, hal ini menyangkut keberlanjutan sektor fashion ini. Tidak hanya produk makanan yang sebelumnya cukup familiar di tengah masyarakat dengan tren halal, konsumen produk fashion yang telah memahami konsep dan praktik halal juga membutuhkan kepastian, perlindungan, dan jaminan bahwa produk yang dipakai telah melewati proses yang terverifikasi kehalalannya.
Fashion muslim sebagai wujud dari halal lifestyle identik dengan busana yang dipakai seorang muslim pada event penting atau keagamaan, menutupi aurat, baju tertutup, lengan panjang, berukuran longgar, dan selalu dilengkapi dengan jilbab (hijab).
Kekuatan Indonesia sebagai salah satu negara mayoritas muslim di dunia turut membuka peluang berkembangnya industri fashion muslim di sektor ekonomi kreatif. Berdasarkan data Bank Indonesia, hingga November 2022, transaksi fashion muslim melalui platform e-commerce mendominasi dengan capaian pangsa pasar 73,86% (naik 19.73% dibanding tahun 2021) dari total nominal transaksi e-commerce di Indonesia.
Untuk dapat berlaku secara universal dan digunakan masyarakat global, fashion muslim mengalami perkembangan dengan hadirnya modest fashion. Pada dasarnya, modest fashion memiliki konsep yang sedikit berbeda dengan pakaian muslim. Jika pakaian muslim identik dengan pakaian yang dikenakan oleh masyarakat muslim sesuai syariah Islam, maka modest fashion lebih menggambarkan tren busana santun dan sopan yang bisa dipakai sehari-hari baik sebagai pakaian kerja, berolahraga, menghadiri kegiatan sosial, atau acara penting oleh semua orang dan kalangan.
Terlepas dari alasan relijius dan tradisi etnis, modest fashion yang bisa dipakai oleh konsumen muslim dan non-muslim lebih mengedepankan kenyamanan dan kebebasan dalam mengekspresikan tren dalam berbusana. Sehingga, saat ini modest fashion menjadi sorotan di berbagai rumah mode dunia seperti Paris, Milan, London, hingga New York.
Munculnya modest fashion di Indonesia yang dipelopori desainer ternama seperti Dian Pelangi dan Ria Miranda terinspirasi dari tren hijaber dunia melalui modifikasi penggunaan busana muslim yang tidak lagi dominan dengan keharusan pemakaian jilbab. Perkembangan masif modest fashion dalam beberapa tahun terakhir telah dikreasikan dengan memasukkan unsur-unsur desain dan material kain tradisional yang menonjolkan khasanah budaya lokal. Banyak desainer modest fashion yang memadukan karyanya dengan material lokal, termasuk Sumatera Barat yang terkenal dengan kain tenun, bordir, sulam, songket, batik minang (batik tanah liek), dan akar mansiang.
Peningkatan populasi muslim dunia dan jumlah masyarakat muslim di Indonesia yang telah mencapai 87,2% (229 juta jiwa) dari 273,5 juta jiwa total penduduk seharusnya dapat memperbesar potensi berkembangnya UMKM halal fashion berbasis kearifan lokal Sumatera Barat di pasar nasional dan internasional. Akselerasi UMKM lokal untuk mengupayakan produk yang memenuhi kriteria halal menjadi faktor penentu konsumen dalam membeli produk halal.
Sebagai salah satu industri dengan rantai pasok yang panjang dari hulu hingga hilirnya, kebangkitan UMKM pada industri fashion mengadopsi praktik halal berdampak positif bagi kepentingan ribuan hingga jutaan orang yang terlibat di dalamnya. Jannah & Al-Banna (2021) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa konsumen sebagai pengguna produk halal dan produsen sebagai penyedianya berperan penting dalam meningkatkan kesadaran pentingnya penerapan praktik halal.
Kolaborasi UMKM lokal dengan desainer ternama dalam beberapa peragaan busana, seperti: De’Irma menampilkan bordir dan tenun Silungkang pada Istanbul Modest Fashion Week 2016; Ria Miranda dengan batik Tanah Liek dan sulam Bayang Pesisir Selatan pada ajang Jakarta Fashion Week 2017; Tuty Adib memamerkan tenun Balai Panjang Payakumbuh dan menggunakan akar mansiang pada motif sepatu wedges serta Jeny Tjahyawati menampilkan batik Mande Rubiah pada ajang ASC New York
Fashion Week 2019; Itang Yunasz dengan songket minang pada Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2019; Ghea Panggabean menampilkan tenun songket Minangkabau pada ajang Seribu Warna Kain Nusantara 2020; dan Fomalhaut Zamel membawa tenun Minang pada Jakarta Muslim Fashion Week (JMFW) 2023. Upaya promosi produk fashion lokal Sumatera Barat melalui pameran tersebut diharapkan dapat menjadi media promosi yang efektif dan mendongkrak perkembangan modest fashion berbasis etnik lokal.
Tentu saja, pemerintah bersama stakeholder juga dituntut memiliki komitmen untuk terus melakukan upaya integrasi praktik halal mulai dari aktivitas penyediaan input, produksi, distribusi, pemasaran, hingga konsumsi sebagai upaya mewujudkan visi Indonesia menjadi pusat ekonomi syariah dunia sekaligus menjadi kiblat halal fashion muslim dunia pada tahun 2024. (**)