Seperinya sudah jadi tradisi di Indonesia, bila ganti menteri maka muncul kebijakan baru lagi.Penunjukan menteri pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) baru akan diiringi perubahan besar dalam sistem pendidikan.
Itu pula yang terjadi dengan Muhadjir Effendy. Belum sepekan dilantik menggantikan Anies Baswedan sebagai Mendikbud, dia berancang-ancang menasionalkan sistem full day school.
Muhadjir mengklaim sudah mendapat restu dari presiden dan wakil presiden untuk menerapkan sistem sekolah sehari penuh tersebut mulai jenjang sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA).
Menurut sang menteri, anak-anak lebih baik sehari penuh di sekolah. Orang tua mereka sibuk, tidak ada waktu untuk mereka. Jadi lebih baik anak-anak disibukkan di sekolah, mereka baru pulang ketika orang tua pulang kerja.
Dengan sistem tersebut, guru akan punya lebih banyak kesempatan untuk menanamkan karakter kepada siswa. Dengan demikian, pendidikan tidak akan melulu berbicara mengenai hal-hal akademis.
Bagi orang tua, terutama di perkotaan, Muhadjir menilai sistem tersebut akan memberikan manfaat lebih. Yakni, mendekatkan orang tua dengan anak. Dengan jam sekolah yang baru berakhir pukul 17.00, orang tua yang umumnya bekerja hingga pukul 16.00 bisa langsung menjemput anak mereka.
Hal itu berbeda dengan kondisi saat ini, yakni siswa rata-rata pulang pukul 13.00. Ada jeda waktu ketika anak tidak berada dalam pengawasan sekolah maupun orang tua. Pada jam-jam itulah rawan terjadi penyimpangan dan salah pergaulan. “Nanti kompensasinya, mungkin hari Sabtu bisa kami liburkan,’’ terangnya.
Kebijakan ini mendapat tanggapan beragam dari kalangan masyarakat, Salah seorang pengamat pendidikan Sumbar, Daniel Sidharta kepada Sumbar Post, belum lama ini mengatakan, Itu adalah gagasan yang tergesa-gesa dari Mendikbud soal pendidikan, seharusnya dipikirkan secara matang baru dilempar ke publik.
“Saya jadi berpikir, ini Menteri Pendidikan atau Menteri Perindustrian?Gambaran tentang orang tua yang sangat sibuk adalah gambaran di kota besar dengan segala kemacetannya. Di daerah orang hidup lebih santai. Apalagi di pedesaan, petani tidak bekerja sampai malam. Sepertinya menteri ini lupa bahwa 70 persen lebih masyarakat kita tinggal di desa,” ungkapnya.
Tapi, lanjut Daniel, terlepas dari soal itu, pendidikan seharusnya memperbanyak interaksi antara anak dengan orang tua, bukan menghilangkannya. Hanya karena kita menyekolahkan anak, tidak berarti tanggung jawab mendidik anak gugur.
“Kalau orang tua sibuk, mereka harus didorong untuk menyisihkan waktu, bukan malah membiarkan mereka jauh dari anak-anak.Rasanya tidak perlu lagi saya jabarkan argumen soal pentingnya interaksi dengan anak. Kalau masih ada yang meragukan hal itu, sebaiknya mereka punya anak dari tabung saja, pakai mesin-mesin pembiakan,” ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Dikatakan, anak dikandung oleh ibunya, dalam perlindungan ayahnya, kemudian diasuh oleh keduanya, bersama anggota keluarga yang lain. Itu sistem yang alami. “Bagi saya, anak harus tumbuh dalam interaksi yang dekat dengan orang tua. Makanya saya mengkampanyekan konsep orang tua adalah guru bagi anak-anak mereka,” tegasnya.
Meski sibuk dengan urusan pekerjaan, kata pria beruban ini, orang tuaharus tetap menyisihkan waktu untuk mendampingi anak-anak belajar. Baik saat pulang kerja maupun akhir pekan. “Seperti saya misalnya, pada saat saya pulang, anak-anak sudah cukup istirahat, siap berinteraksi dengan saya. Bayangkan kalau gagasan menteri tadi dilaksanakan, kami pulang ke rumah, anak-anak lelah, langsung tidur. Kapan berinteraksi dengan keluarga?” tanyanya.
Bagi saya, lanjut dia, pendidikan bukan sekedar soal berapa lama anak di sekolah, tapi soal bagaimana sekolah membentuk karakter mereka. “Sekolah kita bagi saya sudah sampai pada level yang sangat mengerikan. Sekolah sudah jadi gudang pelajaran, dengan materi pelajaran bertumpuk tinggi, menyita ruang interaksi dan kebebasan anak,” ungkapnya lirih.
Sekolah yang itupun, sebut pria beranak banyak ini, masih akan ditambah lagi dengan berbagai jenis les dan pelajaran agama.“Seperti gagasan Pak Menteri. Ini sekolah atau pabrik,” ungkapnya dengan nada tinggi.
Di lain sisi, Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), M Cholil Nafis menyambut baik ide Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy terkait belajar satu hari penuh. Ide tersebut dinilai baik bagi peserta didik sekolah dasar dan menengah dalam membentuk pendidikan karakter dan kehidupan sosial yang positif.
“Ide Full Day School adalah alternatif yang terbaik khususnya bagi masyarakat di perkotaan,” ujar Cholil, dalam keterangan tertulisnya.
Cholil menilai waktu anak banyak yang kosong karena jam belajar sekolah hanya setengah hari. Mereka akan cenderung tergoda untuk bermain gim dan menonton sehabis pulang sekolah. Berbeda dengan anak yang mengisi jadwal luang dengan bimbingan belajar atas les privat. Sehingga waktu untuk belajar lebih banyak.
Cholil khawatir terhadap anak kurang mendapatkan bimbingan pascapulang sekolah dari orang tua. Terutama bagi mereka yang sibuk dengan karier dan kerja profesionalnya. Cholil berharap suasana sekolah harus dibuat menyenangkan. Pembelajaran kondusif serta pengawasan guru yang utuh sehingga siswa menjadi betah, nyaman dan memperoleh pembelajaran yang baik.(Harias)