Tarmizi Mawardi, mantan pegulat Sumatera Barat di era 1980an sampai 1990an telah sukses hidup di Amerika Serikat. Namun kesuksesan yang didapatnya bukanlah dengan hanya membalikkan telapak tangan. Berbagai rintangan dihadapinya, hingga bisa sukses pada saat sekarang ini. Bagaimana kisahnya :
New York, salah satu kota di Negara United State of America (USA) merupakan kota yang keras untuk di tinggali oleh umat manusia. Jika tak punya kemauan yang besar untuk bertahan hidup disana, maka terkuburlah mereka dengan harapan yang di punya.
Pasalnya New York merupakan kota yang cukup kejam untuk ditinggali. Konon kabarnya Kota terbesar kedua di Negeri Paman Sam itu lebih kejam dari Kota Jakarta. Ibukotanya Indonesia. Angka kemiskinan dan kriminalitas boleh dikatakan cukup tinggi untuk sebuah kota tergolong metropolitan.
Kerasnya Kota New York dirasakan betul oleh Tarmizi Mawardi, pria asli Sumatera Barat ini. Tak tanggung-tanggung, dirinya sudah 21 tahun hidup kota tersebut. Berbagai pekerjaan dilakoni Tarmizi, agar dapat bertahan dari kerasnya kehidupan.
Seminggu sampai di Kota yang terkenal dengan Patung Liberty, pria memiliki tinggi badan 167 cm ini diajak teman kerja di kebun sayur memotong sayuran dengan orang Tionghoa. Tiga bulan mengabdi sudah cukup membuat Tarmizi muda pada waktu itu untuk beralih ke pekerjaan lain.
Pria asli Padang Panjang ini pun juga tak malu melakoni pekerjaan sebagai loper koran maupun sebagai sopir di salah satu panti jompo guna melakukan tugas rutin antar jemput orang jompo .
Tak puas dengan pekerjaan sebelumnya, Tarmizi melakoni pekerjaan lain menjadi buruh bangunan. Mengingat pada saat itu pekerjaan sangat sulit didapatkan. Namun dari bidang inilah dirinya mendapakan bekal merintis usaha hingga menjadi orang berpunya sampai saat sekarang ini.
“Alhamdulillah setelah 21 tahun hidup di negeri orang, saya saat ini sudah menjadi kontraktor di bidang perumahan disana. Kerjaan sampingan saya sebagai tourist guide dari Indonesia yang ingin berjalan-jalan di New York,”ucap Tarmizi dengan penuh rasa syukur. ketika ditemui Sumbar Post di Universitas Negeri Padang baru-baru ini.
Paling membanggakan bagi seorang Tarmizi adalah bagaimana disana Ia bersama keluarga kecil memiliki satu unit rumah setelah 15 tahun bekerja. Karena memiliki rumah disana adalah impian terbesar baginya pada saat itu.
Keberhasilan pria dengan dua anak ini memang berangkat dari nol. Awal perjalanan dia mengadu nasib ke New York bermula dari tahun 1995. Sejarahnya sampai ke Amerika adalah berkat bantuan sepupu sang istri tercinta yang sudah lebih dahulu mendarat di sana.
“Saya dianjurkan oleh sepupu istri saya yang lebih dahulu menetap disana. Tahun 1994 istri saya lebih dahulu ke USA. Istri kontak saya untuk pergi ke sana, karena kehidupan disana lebih baik di bandingkan Indonesia,”Kenang Tarmizi Mawardi dengan mata berkaca-kaca.
Pria memiliki ciri khas berkepala plontos ini sangat berbeda dibandingkan pria lainnya. Jika kebanyakan orang ketika sudah bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), takkan mau meninggalkan kursi nyaman itu. Namun Tarmizi mengadu nasib ke Amerika Serikat dengan meninggalkan kursi PNS sebagai guru olahraga yang sudah dalam genggaman sejak 1987.
Kursi itupun didapatnya di tahun yang sama setelah menamatkan sekolah di SGO Simpang Haru, Ia sudah berstatus PNS dan mengajar di SD 17 Parak Karakah sebagai guru olahraga. Sembari bekerja, tahun 1988 dirinya pun menjalankan aktftas kuliah di FPOK (FIK UNP-red).
“Saya bertekad untuk hidup disana dengan meninggalkan status saya sebagai guru PNS. Pada 1995 saya pergi ke AS rencananya mengajukan cuti. Tapi karena cuti tak kunjung keluar, sementara visa,tiket pesawat, dan paspor sudah ditangan, ya sudah saya tinggalkan saja. Daripada saya tak jadi berangkat,”ulasnya dengan nada merendah.
Baginya kunci untuk bisa sukses dan bertahan hidup di Negeri Adidaya itu adalah kemauan tinggi untuk bisa sukses serta pintar membagi waktu. Dalam melakukan pekerjaan, jangan sampai memilih-milih pekerjaan, yang penting pekerjaan yang dilakoni halal.
“Disamping kemauan yang tinggi dan pintar membagi waktu, yang juga harus diperhatikan hidup di rantau adalah kejujuran dan ketekunan. Jika semua itu sudah kita miliki, apa yang kita inginkan Insya Allah dikabulkan oleh Allah,”ucapnya dengan penuh keyakinan.
Cedera Parah Habiskan Karir Tarmizi di Gulat
Cedera ligamen parah yang di derita oleh Tarmizi Mawardi ketika menjalani Pemusatan latihan nasional (Pelatnas) untuk mengikuti Kejuaraan Asia pada tahun 1990 membuat impiannya kandas seketika untuk menjadi juara gulat dunia.
Dipanggilnya Tarmizi berkat prestasi gemilang ketika mengikuti Kejuaraan nasional (Kejurnas) Gulat di Kota Padang tahun 1990 dengan meraih medali perak. Pada waktu itu Ia dikalahkan oleh Surya Saputra dan Suryadi yang notabene berstatus Juara Olimpade Gulat.
“Saya terkena cidera parah di Pelatnas. Mungkin karena pada waktu itu matras sedang dalam kondisi licin membuat cidera saya parah. Saya saja menjalani operasi di USA untuk memperbaiki cidera ligamen. Total biaya pada waktu itu $30 ribu. Untung saja asuransi yang menanggung, jadi tak perlu biaya mahal,”jelasnya. (Ridho)