Sumbar  

Surat Terbuka Setelah Polisi Tembak Polisi: Pak Presiden, Hentikan Mafia Tambang

Padang — Menjelang Pilkada serentak, 27 November 2024 lalu, kasus “Polisi Tembak Polisi” yang terjadi di Solok Selatan (Solsel) menghebohkan publik Sumatera Barat (Sumbar) dan bergema ke ibukota negara, Jakarta. Sehingga salah seorang tokoh masyarakat asal Solsel buka suara perihal kasus yang diawali pemberantasan tambang ilegal di wilayah tersebut.

Suara yang disampaikan tokoh masyarakat Solsel tanpa identitas itu bertajuk Surat Terbuka dari Solok Selatan yang ditujukan kepada Presiden RI cq Ketua DPR-R, Kompolnas RI dan Kepolisian RI itu dishera ke berbagai grup.

Seperti diketahui surat terbuka adalah surat yang secara sengaja diterbitkan agar bisa dibaca oleh khalayak luas, dalam hal ini disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia Cq. Ketua DPR RI, Kompolnas RI, Kepolisian RI

Dalam surat terbuka itu diungkapkan kasus “Polisi Tembak Polisi” adalah ibarat puncak gunung es dari akumulasi ketidak adilan dalam penegakan hukum terhadap kegiatan ilegal mining di Solok Selatan (Solsel) yang sudah berlangsung selama lebih kurang 20 tahun.

Penambangan ilegal di Solsel Provinsi Sumbar ini terutama penambangan emas ilegal telah memporak porandakan hampir semua aliran sungai, hutan dan termasuk hutan lindung, dimana Solsel telah mengalami deforestasi akut. Dalam waktu yang panjang pasti sangat sulit di pulihkan (recovery). Namun pelaku utama beserta konco-konconya seperti tidak pernah tersentuh oleh hukum (never touched of law). Gembong utama (good father) penambangan ilegal.

Masyarakat Sosel termasuk aparat penegak hukum mengetahui bahwa oknum pejabat publik dengan menggunakan puluhan alat berat (excavator) tidak pernah berhenti melakukan penambangan emas ilegal sampai saat ini, termasuk juga 2 lokasi penambangan galian C berskala besar tanpa izin yaitu yang pertama di Bukit Gadang Nagari Talao di dalam HGU Kecamatan Sangir Balai Janggo yang dimiliki seorang oknum pejabat publik dan lokasi yang kedua sangat dekat dengan kantor penegak hukum Solsel di Jorong Sei. Padi, Nagari Lubuk Gadang Kecamatan Sangir.

Sementara itu penambangan galian C di sepanjang aliran Batang Bangko dan Batang Suliti di Kecamatan KPGD dan Sungai Pagu yang sedang viral dengan peristiwa Polisi tembak Polisi saat ini, merupakan kegiatan keseharian penambangan galian C dari masyarakat setempat untuk mencari sesuap nasi (berskala kecil).

Ada dua keuntungan dari kegiatan pertambangan rakyat yang terdapat pada kedua aliran sungai tersebut, pertama, manfaat secara ekonomi merupakan mata pencarian masyarakat di tengah keterpurukan dan ketidakpastian ekonomi saat ini.

Kedua, untuk membantu pengerukan sedimentasi sungai dimana ke 2 sungai itu senantiasa mengalami pendangkalan akibat longsoran material batu dan pasir yang berasal dari hulu sungai yang notabene adalah kawasan pegunungan yang sangat dekat dan melingkari kota Muara Labuh.

Jika tidak dilakukan pengerukan secara rutin maka dapat dipastikan setiap musim hujan, Muara Labuh atau Sungai Pagu akan senantiasa mengalami banjir besar karena permukaan sungai akan jauh lebih tinggi dari pemukiman masyarakat akibat sedimentasi (pendangkalan).

Dengan fakta di atas semestinya pihak yang berwenang justru harus menerbitkan izin untuk aktivitas penambangan galian C oleh masyarakat di Sungai Batang Bangko dan Batang Suliti, supaya masyarakat setempat tidak senantiasa terjerumus dalam kegiatan yang melanggar hukum.

Maka dari peristiwa dan fakta-fakta yang ada mestinya penegakan hukum terhadap peristiwa “Polisi Tembak Polisi” di Solsel betul betul harus dilakukan investigasi yang cermat, komprehensif, adil dan jujur, supaya tidak berhenti hanya pada seorang Dadang Iskandar yang hanya ibarat titik kecil dari pusaran kejahatan ilegal mining di Solsel.

Aparat keamanan jangan sampai mempertontonkan ketidakadilan dalam penegakan hukum, penegakan hukum yang tebang pilih dimana yang kecil ditindak dan yang besar dibiarkan meraja lela. Peristiwa “Polisi Tembak Polisi” di Solsel itu boleh jadi dipicu oleh ketidak adilan dalam penegakan hukum yang sudah dipertontonkan secara telanjang.

“Kita mengutuk dengan keras peristiwa “Polisi Tembak Polisi” namun penegakan hukum ilegal mining di Solsel jangan hanya menyasar pada seorang Dadang Iskandar, karena boleh jadi dia seorang pelaku sekaligus juga merupakan seorang korban,” terang dalam surat terbuka itu.

Berdasarkan informasi dari media yang merujuk pada pernyataan Kapolda Sumbar bahwa hanya akan fokus pada peristiwa penembakan terhadap Kasat Reskrim Polres Solsel AKP Ryanto Ulil Anshar akan menjadi sangat bias apabila upaya investigasi untuk mengungkap mafia tambang di Solsel tidak dilakukan dengan sungguh – sungguh dan menyeluruh.

Diharapkan pihak Kompolnas dan Komisi III DPR RI segera melakukan investigasi ke lapangan untuk mendapatkan bukti modus perlindungan yang diistilahkan dengan “membayar uang payung” dengan nominal Rp. 35.000.000 (tiga puluh lima juta rupiah) per unit alat berat per bulan, dan itu sudah berlangsung lebih dari 10 tahun.

Menyikapi kasus “Polisi Tembak Polisi” itu, Nurfirmanwansyah, anggota DPRD Sumbar daerah pimilihan (Dapil) VII Solok Raya berharap dengan kasus tersebut, Solsel bersih-bersih dari ilegal mining karena kegiatan pertambangan, baik tambang emas dan tambang galian C di Solsel-Sumbar sudah berlangsung sejak 20 tahun lalu. Oleh karena itu, baik penambangan emas maupun tambang galian C yang menjadikan sumber perekonomian masyarakat, namun selama ini pembiaran saja menyoal penambangan tanpa izin (PETI).

“Kedepan solusi dari Ilegal Mining ini adalah melegalkan. Saya berharap kepada semua masyarakat Solok Selatan untuk dapat mengurus izin penambangannya jika ingin melakukan kegiatan penambangan,” jelas Anggota Fraksi PKS DPRD Sumbar ini kepada wartawan ketika diminta tanggapanya, Rabu (27/11/2024).

Revisi Undang-Undang Minerba

Sementara itu, ahli geologi dan vulkanologi Sumbar, Ade Edwar khawatir tentang penambangan tanpa izin (PETI) yang terjadi selama ini di Sumbar maupun di provinsi lainya di Indonesia.

“Maraknya tambang ilegal di Sumbar khususnya dan di Indonesia pada umumnya saat ini, maka sudah saatnya UU Nomor 3 Tahun 2020 sebagai UU Minerba yang telah mengambilalih kewenangan izin dari pemerintah daerah dirivew kembali, agar pengawasan, pembinaan dan pengendalian dalam pengelolaan tambang dapat berkelanjutan” ujar Ade Edwar, Rabu (27/11).

Ade Edwar, yang juga pensiunan ASN Dinas Pertambangan dan Energi Sumbar sejak dibentuk tahun 1991 hingga 2007 menambahkan sejak otonomi daerah tahun 1990-an lalu, telah terjadi beberapa kali perubahan terkait pengelolaan tambang diseluruh Indonesia. Namun perubahan UU Minerba terakhir penambangan Ilegal Mining menjadi marak.

“Jadi Indonesia butuh mereview kembali agar pengelolaan tambang dapat berkelanjutan yakni memenuhi berbagai aspek diantaranya aspek sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan hidup,” jelas Ade Edwar yang juga salah seorang perintis lahirnya Dinas ESDM di Provinsi Sumbar itu.

Sedangkan merespon Surat Terbuka dari Solok Selatan yang menyebutkan tambang-tambang di sungai itu harus dilegalkan selanjutnya dibina karena akan bermanfaat dalam menjaga serta mengelola sedimentasi sungai, karena sedimentasi sungai tidak terkelola dengan baik akan memicu bencana.

Secara terpisah ketika dikonfirmasi kepada salah seorang Kasi di Dinas ESDM Provinsi Sumbar mengakui bahwa dengan adanya UU Nomor 3 Tahun 2020 sebagai UU Minerba kewenangan pengawasan kegiatan pertambangan oleh Dinas ESDM hanya terbatas pada kegiatan pertambangan bahan Galian C yang memiliki izin saja. Sementara tidak ada kewenangan untuk pengawasan terhadap tambang ilegal. Karena keterbatasan kewenangan dalam bidang pengawasan tentu berakibat juga terhadap tidak tersedianya anggaran untuk kegiatan pengawasan tambang-tambang ilegal.(mardi)