Padang –Juru bicara Pengadilan Negeri (PN) Padang, Juandra merasa gerah dengan pemberitaan yang memojokkan Hakim Ferry Hardiansyah. Dia langsung menjelaskan kepada pers.
“Sebenarnya tidak ada kode etik yang dilanggar oleh Hakim Ferry Hardiansyah dalam memimpin sidang tersebut. Menurut yuris prudensi Mahkamah Agung, hakim dapat menerapkan asas Ultra Petita pada Petitum Ex Aequo Et Bono,” jelas Humas PN Padang, Juandra, Kamis (6/4/2023).
Sebelumnya, Avisenna selaku kuasa hukum tergugat, melaporkan Hakim Ferry Hardiansyah ke Komisi Yudisial karena diduga melanggar kode etik dalam memimpin sidang perkara perdata Gugatan Sederhana (GS) No 10/Pdt.G.S/2023/PN.Pdg.
“Ini kan baru laporan tentang adanya dugaan. Jadi kemungkinan bisa terbantahkan (pengaduan Avisenna) tentu bisa jika diterapkan asas Ex Aequo Et Bono, dan bisa juga sebaliknya,” ungkapnya.
Seperti diketahui Penerapan Asas Ultra Petita pada Petitum Aequo Et Bono menurut I.P.M Ranuhandoko adalah, penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau memutus melebihi apa yang diminta.
Sedangkan, pertimbangan hukum MA memutus mengandung Ultra Petita yakni adanya hubungan yang erat satu sama lainnya, hakim dalam menjalankan tugasnya agar aktif dan berusaha memberikan putusan yang menyelesaikan perkara, serta dibenarkan melebihi putusan asalkan masih sesuai dengan kejadian materiil yang diijinkan atau sesuai posita sebagaimana terdapat dalam putusan MARI no 556K/SIP/1971 dan putusan MARI no.425.K/SIP/1975
Selanjutnya putusan berdasarkan petitum subsidair, yanh diminta keadilan dan tidak terikat dengan petitum primair, dibenarkan apabila diperoleh putusan yang lebih mendekati rasa keadilan dan asalkan dalam kerangka yang serasi dalam inti petitum primair, sebagaimana terdapat dalam putusan MARI no 140.K/Sip/1971.
Di tempat terpisah, Arnold selaku kuasa hukum penggugat juga mendukung apa yang disampaikan oleh pihak Pengadilan Negeri Padang. Kewenangan hakim dalam memutuskan suatu perkara sangat jelas termaktub dalam Undang-Undang No 48 tahun 2009 Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1).
Dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan : “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Sementara berdasarkan Pasal 10 ayat 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa : Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Dalam perkara ini, hakim sebagai juri menemukan fakta hukum yang terjadi setelah mendengarkan keterangan saksi dan melihat bukti dari para pihak, sehingga diperoleh putusan yang tepat sesuai dengan perkara tersebut.
Sebenarnya sebut Ronald, kalau memang pihak tergugat merasa tidak sesuai terhadap putusan hakim, upaya yang bisa dilakukan adalah keberatan. Sampaikanlah keberatan itu.
“Jadi laporan yang dilayangkan kuasa hukum tergugat masih terlalu prematur dan dini. Salinan putusan saja belum dapat lagi ketika Avisenna melapor, baru amar putusan yang keluar di E-Court. Avisenna sudah menilai putusan hakim tanpa melihat pertimbangan dalam salinan putusan,”jelasnya. (almadi)