Indeks
Opini  

Merefleksi Guru Takut VS Guru Ditakuti

Oleh : Gustina, M.Pd

SDN 54 Payakumbuh, Kota Payakumbuh, Provinsi Sumatera Barat

 

Guru adalah profesi yang sangat mulia jika dilihat dari fungsinya yaitu mengajar sekaligus mendidik anak bangsa. Selain mengajar dan mendidik, guru juga dituntut untuk meningkatkan kualitas manusia dalam segi keimanan dan akhlak. Guru selalu dituntut untuk memberikan contoh yang positif kepada anak didiknya.

Tidak hanya kepada peserta didik, tetapi juga harus menjaga segala tingkah laku di lingkungan masyarakat. Sebab guru tidak hanya berhubungan dengan peserta didik saja, tetapi juga berhadapan dengan kepala sekolah, sesama guru, pemerhati pendidikan, orang tua selaku wali peserta didik serta tokoh masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa harapan masyarakat seolah digantungkan kepada dunia pendidikan dengan aktor utamanya guru.

Perkembangan dunia pendidikan belakangan ini sangat memprihatinkan. Dapat dilihat di televisi, berita online, radio, dan di sekolah – sekolah di beberapa daerah. Banyak berita serta peristiwa yang mencoreng dunia pendidikan. Sering terjadinya kekerasan terhadap guru yang dilakukan oleh peserta didik serta orang tua dari peserta didik, bahkan ada juga masyarakat yang melakukan tindakan kekerasan kepada guru.

Tindakan kekerasan disini tidak hanya kekerasan fisik tetapi juga kekerasan moral yang ditujukan kepada guru. Ini terjadi dengan berbagai alasan, misalnya guru tersebut “ditakuti” dalam menegakkan disiplin di sekolah yang menyebabkan peristiwa kekerasan dan akhirnya membuat “guru takut” akan proses hukum yang akan menjeratnya.

Bagaimana Refleksi guru takut dan guru ditakuti dalam dunia pendidikan saat ini? “Sedih, malang dan miris sekali nasib seorang guru sekarang. Niat ingin mendisiplikan peserta didik dengan segala peraturan yang positif justru berujung penjara dan bisa juga berdampak pada pencemaran nama baik sebagai seorang guru. Menjadi guru “ditakuti” di sebuah sekolah sekarang malah bisa berubah menjadi “guru takut”.

Berbagai peristiwa yang sering didengar, dilihat pada fenomena saat ini dapat disimpulkan seorang guru yang “ditakuti” bisa berubah menjadi “guru takut” karena terjadi kekerasan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dalam menjalankan tugasnya sudah sepantasnya guru dihargai dan dilindungi. Hukuman yang bersifat mendidik, bukan merupakan tindakan kekerasan terhadap anak.

Memberikan hukuman moral dari masyarakat kepada guru dengan permasalahan sepele bukanlah bentuk penegakkan hukum. Apakah ini ada hubungannya dengan HAM? Entahlah, terkadang dengan hukuman moral tersebut kita justru mengkriminalkan seorang guru.

Tindakan seorang guru kepada peserta didik secara positif terdapat dalam PP No 74 tahun 2008 pasal 39 tentang guru yang berbunyi “ Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan dalam proses pembelajaran yang berada dalam kewenangannya.

Begitu juga dalam pasal 40 ayat 1 dan pasal 41 ayat 1 juga dijelaskan bahwa guru mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman, dari tindak kekerasan, perlakuan diskriminatif, dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat dan pihak lain.

Dari kasus yang banyak ditemui dimanapun dapat diambil sebuah pelajaran bahwa sanksi dan disiplin yang dilakukan oleh guru dalam mendidik perserta didik jika dalam batas wajar adalah tindakan yang baik dan justru harus diapresiasi. Karena sejatinya tugas guru bukan hanya mengajar tetapi mendidik peserta didik supaya menjadi manusia yang berakhlak dan berkarakter sesuai dengan tuntutan  kurikulum 2013.

Kasus hukuman moral bahkan pidana merubah guru menjadi “guru takut”. Sudah selayaknya sekarang siapapun memberikan posisi yang lebih tinggi kepada profesi guru. Menjadi “guru ditakuti” sesungguhya menggunakan penyalahgunaan wewenang guru kepada peserta didiknya. ini juga bukan cara mendidik yang baik. Sejatinya jadilah “guru yang dihormati”.

Jangan selalu menyalahkan “pencitraan”, sosok guru juga butuh pencitraan untuk mengendalikan prilaku peserta didik melalui pembiasaan yang muaranya membentuk karaktek peserta didik. Guru harus selalu merefleksi diri sendiri agar tidak terjebak menjadi “guru ditakuti” yang dengan sekejap bisa berubah menjadi “guru takut”. Jadilah “guru dihormati” yang dapat memelihara hubungan baik dengan peserta didik, orangtua peserta didik, pemerhati pendidikan, kepala sekolah, sesama guru dan masyarakat supaya terjalin hubungan dan kerjasama yang baik dalam dunia pendidikan. (*)

Exit mobile version