Letjen TNI Doni Monardo dan Sungai Citarum

 

IMG_20180323_163132

Letjen TNI Doni Monardo seperti tak kenal lelah “menerjang” segala sisi untuk memulihkan Sungai Citarum. Ketika menjabat Kodam III/Siliwangi, gebrakan pertamanya justru memerangi persoalan yang dianggap telah menghancurkan ekosisetem sungai ini. Sungai yang jadi tumpuan hampir 30 juta jiwa penduduk Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Entah berapa puluh kali ia bertemu dan berbicara dengan berbagai pihak, menyentak kesadaran banyak orang, menggedor ketakpedulian, dan menjalarkan spirit baru mengenai bagaimana seharusnya sungai beserta lingkungannya dikelola.

Gerakan yang diinisiasi Panglima ini makin menarik perhatian ketika Presiden RI Joko Widodo turun tangan, bahkan menyempatkan diri turun ke Bandung memimpin dua rapat khusus mengenai hal ini, dan satu pertemuan terbatas dengan 45 tokoh masyarakat.

Presiden juga menegaskan, Sejak akhir November 2017 sampai pertengahan Januari 2018 saja, pihaknya sudah menggelar sekurang-kurangnya 14 kali melakukan pertemuan khusus membahas persoalan Citarum dan langkah-langkah penanggulangannya

Citarum sudah rusak. Tampaknya semua orang sudah tahu itu, bahkan sempat jadi berita dunia ketika disebut bahwa inilah sungai terkotor di muka bumi! Betapa mengerikan, sementara penduduk yang berada –dan jadi bagian siklus lingkungan– di sekitarnya seolah tenang-tenang saja.

Puluhan tahun kondisi ini seperti tak pernah disentuh. Padahal ada lembaga khusus yang ditugasi mengurusinya. Atau, kalau pun disebut ada penanganan, toh realitas menunjukkan kondisi sungai ini kian hari semakin buruk.

Alih-alih mengomandoi semua gerakan penanggulangan Citarum, lembaga itu seperti repot mengurusi dirinya sendiri. Pertengahan tahun 2017, misalnya, kantor yang mengurusi sungai ini terbakar. Sebagian besar arsip dan data-data penting jadi abu.

Belasan triliun sudah digelontorkan melalui macam-macam program, seperti tak berbekas. Saban tahun selalu muncul banjir, dan pencemaran kian menjadi-jadi. Setiap musim pemilu dan pilkada, senantiasa pula jadi arena pencitraan. Sesudah itu warga melanjutkan hidup seperti biasa.

Kini tampaknya tidak lagi. Hampir tiap hari berita mengenai Citarum muncul nyaris di semua media di tanah air, bahkan sebuah surat kabar internasional “berteriak” bahwa pemerintah Indonesia menerjunkan militer untuk menangani (sungai) Citarum.

Dalam percaturan internasional, jika sebuah negara sudah menerjunkan Garda Nasional untuk menghadapi sebuah masalah, berarti persoalan itu demikian serius mengancam pertahanan dan ketahanan negara yang bersangkutan. Ibarat terjadinya megabencana atau serangan alien dari antah-berantah. Darurat!

Ya, darurat. Dalam situasi ini semua potensi harus dikerahkan dan digerakkan untuk mengatasinya. Bukan hanya tentara, melainkan segenap unsur masyarakat. Barangkali, itu sebabnya Panglima Kodam III Siliwangi hari-hari ini ibarat kincir, bergerak cepat.

Laksana pelari maraton, ia pun bertemu dan mengordinasikan langkah-langkah penanggulangan. Tak hanya mengerahkan lebih dari 20 kolonel dan “membetot” presiden serta para menteri terkait, ia juga kukurusukan sampai ke petani, kepala desa, LSM, ormas, kalangan kampus, tokoh-tokoh adat dan para pemuka agama.

Gayung bersambut. Pemerintah pusat, sebagaimana dikemukakan presiden dalam pertemuan terbatas dengan tokoh-tokoh masyarakat di Bandung belum lama ini, ia sudah memerintahkan aparatnya bergerak cepat dan tidak terlalu birokratis. Skema operasi sudah disusun dan segera dilengkapi payung hukumnya.

Dalam situasi darurat, tak ada lagi waktu mencari-cari siapa yang paling bersalah dan paling berperan dalam kehancuran ekosistem Citarum. Penanggulangan harus jadi prioritas, dan secara bertahap sambil berjalan nanti akan ditemukan fakta-fakta sahih mengenai apa dan siapa yang paling bertanggungjawab kerusakan yang terjadi.

Menko Polkam dan Menko Kemaritiman senada, penegakan hukum adalah kunci utama untuk menuntaskan krisis Citarum, selain penyelesaian masalah sosial, ekonomi, lingkungan, dan kultur keseharian masyarakat.

Muncul pula gagasan untuk menggalakkan, sanksi sosial. Yakni, menggerakkan semua warga untuk berlomba mendokumentasikan perilaku-perilaku perusakan dan pencemaran terhadapCitarum dan ekosistemnya, lalu menyiarkannya di media sosial. Dalam beberapa kasus, cara seperti ini dinilai cukup efektif.

Melihat keruwetan dan silang-sengkarut masalahnya, semua gagasan yang disusul rencana tindakan apa pun untuk menanggulangi Citarum, tak akan berhasil optimal tanpa kepemimpinan yang kuat, tegas, dan lugas.

Ini pun tak akan efektif jika masyarakatnya tak peduli. Apalagi jika semua ini hanya pengulangan atas dramatisasi Citarum, sebagaimana terjadi pada setiap lima tahun sekali, sesudah itu “beledug ces” alias meledak lalu dingin kembali.

Panglima bisa berganti. Begitu pula kapolda, gubenur, bahkan presiden.Citarum tidak! Ia akan terus mengalir dari Cisanti hingga Muara Gembong di Laut Jawa. Apa pun yang akan diberikan Citarum, sangat tergantung pada apa dan bagaimana kita memperlakukannya. (*/tribunnews)

Tinggalkan Balasan